MENYELAMATKAN BEKANTAN, MENYELAMATKAN PERADABAN MANUSIA
JAKARTA, 5 Desember 2017. Bekantan (Nasalis larvatus) atau satwa khas Kalimantan saat ini perlu perhatian khusus. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai lembaga, jumlah populasi bekantan menunjukkan tren menurun akibat habitatnya yang makin tergerus oleh aktivitas manusia. Padahal keberadaan bekantan ini merupakan indikator ekosistem sehat yang dapat menunjang kesejahteraan manusia. Nasib bekantan ini di“bedah” pada acara Bedah Buku Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan” yang diadakan di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Ada delapan narasumber yang membahas nasib bekantan ke depan. Mereka adalah Prof. Hadi Alikodra, Guru Besar Kehutanan IPB, Ir. Wiratno M.Sc Dirjen KSDAE, Dr. Sofian Iskandar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KLHK, Chairul Saleh, Species Specialist WWF-Indonesia, Fairus Mulia dari PT. Kandelia Alam dan Fitrian Ardiansyah dari IDH. Dua publik figur dan supporter kehormatan WWF-Indonesia juga turut meramaikan bedah buku bekantan ini. Keduanya adalah Nugie dan Davina Veronica, yang turut berbagi pengalaman ketika berkunjung ke habitat bekantan.
Guru Besar IPB Prof. Hadi S, Alikodra mengatakan secara tak sadar, hidup manusia bergantung pada bekantan. Sebab, keutuhan habitatnya turut menunjang kehidupan manusia yang ada di sekitarnya maupun di seluruh dunia. “Masyarakat dunia bisa turut menikmati keutuhan habitat bekantan. Sebab, hutan mangrove yang menjadi habitat bekantan adalah penyerap karbon yang cukup tinggi,” jelasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melansir Indonesia memiliki 3.489.140,68 hektar (2015) hutan mangrove yang berada dalam garis pantai sepanjang 95,181 kilometer persegi. Dari 16.530.000 hektar luasan mangrove dunia, sebanyak 23 persen berada di Indonesia. Luasan tersebut menyimpan 3,24 miliar metrik ton karbon (Murdiyarso et al., 2015), atau sepertiga dari simpanan karbon dunia (Pendleton et al., 2012).
Laporan penelitian UNEP (United Nation Environmental Protection) tahun 2014 yang berjudul “The Importance of Mangrove to People: A Call To Action” menyatakan bahwa hutan mangrove dapat menyerap karbon dalam jumlah besar, rata-rata sekitar 1,000 ton karbon per hektar selama ribuan tahun yang tersimpan dalam biomassa dan lapisan tanah.
Masa depan bekantan berada dalam keadaan sangat kritis. Kerusakan dan konversi habitat, kebakaran hutan dan illegal logging menjadi penyebab utama terjadinya penurunan populasi bekantan. Sampai tahun 1995, tercatat habitat bekantan tersisa sekitar 39 persen dan yang berada pada kawasan konservasi hanya 15 persen.
Degradasi hutan riparian habitat bekantan berlangsung dengan cepat. Pada umumnya kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai. Dalam kehidupan sehari-hari, sungai merupakan jalur transportasi utama bagi masyarakat, sedangkan hutan riparian dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai permukiman dan ladang.
Hal tersebut menyebabkan populasi bekantan terus menurun dan sebaran sub populasi menjadi lebih terkotak-kotak (jarak antar sub populasi semakin jauh) (Bismark dan Iskandar, 2002; Ma’ruf, 2004). Selain itu, anggapan masyarakat bahwa bekantan merupakan hama pengganggu ladang, dapat menjadi ancaman kelestarian populasi bekantan di alam (Sunjoto et al., 2005).
“Pemerintah telah memasukkan bekantan sebagai salah satu spesies prioritas konservasi yang akan ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen. Namun harus diakui target ini cukup berat untuk dicapai,” ujar Chairul Saleh.
Menurut Chairul, diperlukan komitmen dan kolaborasi semua pihak untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi bekantan. Misalnya pemerintah daerah dapat memasukkan bekantan dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang, sehingga habitat bekantan tidak semakin tergerus pembangunan di daerah.
Degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversi lahan telah menurunkan populasi bekantan sebesar 90 persen dalam 20 tahun terakhir dan di hutan mangrove, penurunan populasi 3,1 persen per tahun (Bismark, 2002).
Selain itu, telah terjadi proses adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap sumber air, danau, dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai sempadan sungai atau danau kecil (Soendjoto, et al., 2005).
Kuatnya tekanan terhadap populasi dan habitat bekantan saat ini menjadi dasar pertimbangan untuk mendorong kesadaran dan kepedulian masyarakat luas. Terutama pemangku kebijakan untuk turut bersama-sama mendorong upaya konservasi bekantan di Kalimantan.
Di Kalimantan Barat, inisiatif pengelolaan habitat dan populasi bekantan secara kolaboratif sudah dimulai oleh WWF-Indonesia di lanskap Kubu, Kalimantan Barat. Inisiatif ini berjalan melalui dukungan proyek dari IDH Sustainable Trade dan melibatkan peran pemerintah dan swasta.
Di sisi lain, potensi keanekaragaman hayati di habitat bekantan juga dapat dimanfaatkan secara maksimal, seperti dalam hal penelitian bioprospeksi. Hal ini sangat bermanfaat dalam industri biofarmasi, yang dapat membuka lahan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal di sekitar habitat. Diharapkan buku ini dapat menjadi referensi ke depan bagi konservasi dan perlindungan habitat bekantan, di samping untuk mendukung implementasi strategi dan rencana aksi konservasi bekantan.
-SELESAI-
Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi:
Lia Syafitri (Koordinator Komunikasi WWF-Indonesia Program Kalbar)
HP: +62 812 5734 743 | Email: lsyafitri@wwf.id
Diah R Sulistiowati (Koordinator Komunikasi Program Forest, Freshwater, and Terrestrial Species) WWF-Indonesia
HP: +62 811 1004 397 | Email: dsulistiowati@wwf.id
Catatan Editor
Bekantan adalah satwa endemik Kalimantan yang dilindungi sesuai UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan status konservasi terancam punah/endangered (IUCN) dan Appendix I (CITES).
Spesies primata ini memiliki peran ekologi penting pada ekosistem lahan basah dan kawasan mangrove, serta sebagai pengatur silvikultur hutan. Namun, keberadaannya kian terancam akibat kehilangan habitat yang terutama disebabkan oleh pembalakan liar dan koversi hutan, juga oleh aktivitas perburuan.
Menurut McNeely et al. (1990), dari 29.500 km2 habitat bekantan, telah berkurang seluas 40 persen, sedangkan yang berstatus kawasan konservasi hanya 4,1 persen. Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan mencapai 3,49 persen per tahun.
Dari enam tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi penurunan luas habitat antara 20-88 persen (Meijaard dan Nijman, 2000) dan laju penurunan habitat ini, baik di dalam maupun di luar kawasan adalah dua persen per tahun (Manangsang, et al., 2005). Akibatnya, populasi bekantan cenderung menurun karena primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992).