MENILAI EFEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI INDONESIA TAHUN 2010
Oleh: Nancy Ariaini
Jakarta (29/07)-Target global menetapkan agar pada tahun 2010 laju penurunan keanekaragaman hayati dapat ditahan salah satunya melalui pengelolaan kawasan dilindungi yang efektif. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta jumlah taman nasional yang harus dikelola sebanyak 50 buah dan telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati, juga berkewajiban untuk memenuhi target global tersebut.
Untuk melihat sejauh mana komitmen Indonesia ini terwakilkan dalam gambaran pengelolaan kawasan dilindungi di Indonesia, sekitar 200 peserta yang berasal dari seluruh taman nasional di Indonesia baik terestrial maupun kelautan, mengikuti lokalatih dan lokakarya penilaian efektivitas pengelolaan taman nasional menggunakan metoda RAPPAM/METT, yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan di Jakarta pada tanggal 28-30 Juni 2010.
RAPPAM (Rapid Assesment and Prioritization on Protected Area Management / Penilaian Cepat dan Prioritas pada Pengelolaan Kawasan Konservasi) dan METT (Management Effectiveness Tracking Tool / Perangkat Pemantau Efektivitas Pengelolaan), merupakan metoda penilaian cepat antara lain dari aspek ancaman dan tekanan yang dihadapi, kerentanan kawasan, sistem zonasi, jumlah staf dan infrastruktur yang tersedia.
RAPPAM/METT telah diimplementasikan di sekitar 1300 kawasan yang dilindungi yang berada di lebih dari 50 negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, metode RAPPAM/METT pernah disosialisasikan dan diujicobakan di 39 Taman Nasional di Indonesia pada tahun 2004. Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, Ir. Darori menjelaskan bahwa hasil kajian dengan metoda RAPPAM pada tahun 2004 mengungkapkan bahwa sebagian besar taman nasional di Indonesia mengalami tekanan dan ancaman yang umumnya dipengaruhi oleh efektivitas pengelolaan.
Budi Suriansyah, salah satu peserta yang adalah staf Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), Kalimantan Barat, menyampaikan dalam pelaksanaan RAPPAM/METT oleh staf kawasan konservasi, diharapkan ada pendampingan dari tim ahli sesuai dengan semua isu yang ada di kawasan, misalnya di bidang biologi dan sosial ekonomi. Para ahli ini bisa memberikan masukan-masukan ilmiah sesuai kapasitasnya, bersama-sama menggali keterhubungan antara data yang satu dengan data yang lain sehingga yang akan lebih persis mendekati permasalahan yang sebenarnya dan menghasilkan tinjauan yang lebih objektif dan tidak bias. Diskusi semacam ini meungkinkan adanya pemahaman yang lebih baik di kalangan staf pengelola kawasan konservasi.
TNDS sendiri mengadakan in-house RAPPAM/METT agar dapat melihat tren tiap tahunan bahkan mengadakan kostumisasi RAPPAM/METT menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di TN itu sendiri. Penilaian secara mandiri menggunakan metoda ini telah dilakukan oleh Balai TNDS secara berkala sejak tahun 2004, 2008, 2009, 2010 yang menghasilkan data bersifat time-series. Dalam merancang rencana kerja jangka panjang lima tahunan, ataupun rencana tahunan, Balai TNDS mengacu kepada hasil RAPPAM/METT. Dengan demikian RAPPAM/METT tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi tetapi juga sebagai basis atau hipotesis awal yang membantu merancang strategi dan merencanakan program ke depan.
Sementara itu Alexander Belokurov, Manager Landscape Conservation dari WWF-International yang menjadi pembicara dalam lokalatih ini memandang bahwa akan sangat baik bila RAPPAM/METT dapat diselenggarakan secara regular mengingat kedua metode penilaian ini cukup mudah untuk dilakukan secara mandiri. Belokurov menyarankan pelaksanaan METT setiap kali setahun dan RAPPAM setidaknya 3 atau 4 tahun sekali, sehingga dapat dilakukan peningkatan kualitas pengelolaan berbasis kinerja. Karena kemudahannya, RAPPAM dapat diselenggarakan sebagai agenda tambahan bila ada pertemuan-pertemuan tingkat regional, tanpa harus secara khusus diagendakan.
Di akhir lokalatih dan lokakarya tersebut, gambaran umum dari efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis pasca evaluasi 2004. Tercatat beberapa hal berikut yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi ke depan dari lokalatih dan lokakarya dimaksud:
- Pelaksanaan RAPPAM perlu dilaksanakan setiap 3 tahun sekali untuk mendapatkan data time series dari efektivitas pengelolaan taman nasional di Indonesia
- Di antara tahun pelaksanaan RAPPAM dapat dilaksanakan METT setiap tahun untuk mengukur efektivitas individual kawasan. Metode ini juga dapat membantu pengelola untuk menyusun rencana pengelolaan
- Perlu ada alokasi anggaran untuk pelaksanaan METT dan RAPPAM
- Perlu ada peningkatan konsistensi terhadap pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
- Kegiatan monitoring terhadap setiap kegiatan perlu dilakukan secara reguler dan didokumentasikan secara baik
- Perlu ada kebijakan politik (political will) dari otoritas pengelola kawasan konservasi untuk membantu pencapaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi terutama dalam setting alokasi dan pengaturan sumberdaya
- Otoritas pengelola kawasan konservasi harus menempatkan kegiatan penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi sebagai kebutuhan untuk terus meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan konservasi.