MENGOLAH BISNIS LISTRIK PANAS BUMI
Oleh Abadi Purnomo
Direktur PT Pertamina Geothermal Energy
PEMERINTAH cukup responsif dalam mengakselarasi bisnis panas bumi (Geothermal). Setelah menetapkan Geothermal menjadi andalan untuk memasok 10.000 megawatt (MW) listrik tahap kedua, awal Desember 2009, pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2009, telah menetapkan harga patokan tertinggi (HPT) tenaga listrik dari pembangkit listrik panas bumi 9,7 sen dolar AS per KWh.
Dengan penetapan HPT tersebut, bisnis Geothermal mendapat momentum, untuk ikut mengatasi krisis listrik di negeri ini. Target Geothermal untuk mensuplai 4.733 MW pada program 10.000 MW listrik tahap kedua tinggal menunggu waktu. Keputusan tersebut akan mendorong minat investor untuk masuk di bisnis geothermal, karena bisnis ini cukup prospektif.
Momentum tersebut juga menjadi tantangan bagi PT Pertamina Geothermal Energy ( PGE), untuk menggenjot target produksi 1.342 MW pada 2014 dari produksi 272 MW pada 2009. Untuk menggenjot target produksi tersebut dibutuhkan investasi 3,3 miliar dolar AS atau setara Rp 33 triliun. Proyeksi ini didasarkan pada perhitungan, untuk menghasilkan 1 MW dibutuhkan biaya kurang lebih 3 juta dolar AS.
Dengan HPT geothermal 9,7 sen dolar AS per KWh, investasi geothermal sebesar itu, tidak susah. Dana sebesar itu bisa diperoleh dari corporate loan Pertamina sebagai perusahaan induk. Namun demikian, PGE dan Pertamina juga mengembangkan skema pembiayaan melalui mekanisme G to G untuk pendanaan soft loan yang difasilitasi oleh Bappenas karena merupakan energi yang tidak terbaharui atau renewable energy. Beberapa lembaga keuangan internasional ingin mendanai proyek geothermal seperti JICA, World Bank dan KFW.
Potensi panas bumi Indonesia cukup besar yaitu 27.000 MW yang tersebar di beberapa wilayah. Lapangan yang telah berproduksi antara lain di Sibayak, Kamojang, Lahendong, Dieng Wayang Windu, Drajat, Salak, dengan total kapasitas mencapai 1189 MW.
Dari lapangan panas bumi PGE yang sudah bcrpoduksi sampai dengan 2009 antara lain Kamojang (200 MW), Lahendong (60 MW) dan Sibayak (12 MW). Yang segera menyusul ditahun 2011 UlubeluUnit 1 (1 x55 MW), di tahun 2012 Ulubelu Unit 2(1 x55 MW), Sungai Penuh (1 x 55 MW), Lumut Balai (1 x 55 MW), Hululais (1 x55 MW), Kotamobagu (2x20 MW) Karaha (1 x 30 MW). Bila 10 arca panasbumi itu berproduksi, pada tahun 2014 produksi listrik PGE bisa mencapai 1.342 MW. Bisnis listrik panas bumi memang semakin menjanjikan di masa mendatang.