MENELITI SAMBIL NIKMATI KEINDAHAN ALAM BAWAH LAUT ALOR DAN FLORES
Oleh: Noverica Widjojo
Matahari bersinar terang ditemani angin sepoi-sepoi di tengah luasnya laut biru berarus tenang. Jernihnya air memanjakan mata dengan keindahan terumbu karang yang dilalui oleh ikan warna-warni.
Begitulah kondisi ekosistem laut di kawasan perairan sekitaran Nusa Tenggara Timur saat tim gabungan ekspedisi laut hendak menyelam di Flores dan Alor untuk memantau kondisi terumbu karang dan populasi ikan beberapa waktu lalu.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Alor dan Flores terletak di antara gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini tidak hanya dikenal dengan keanekaragaman hayati perikanan yang tinggi, tetapi juga keindahan ekosistemnya yang banyak dimanfaatkan untuk wisata bahari. Di beberapa titik unik dari kedua perairan ini juga merupakan habitat hiu, lumba-lumba, dugong dan tuna, serta jalur migrasi paus. Dengan ekosistem laut yang masih berkondisi baik, kedua perairan ini kerap menarik sejumlah nelayan yang datang dari dalam maupun luar kawasan untuk menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, sehingga sumberdaya alamnya dapat terancam punah.
Untuk pertama kalinya, tim gabungan dari WWF-Indonesia, Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor dan Flores Timur, melakukan ekspedisi penelitian evaluasi dampak ekologis (#XPDCFloresAlor) dari ditetapkannya KKP Alor pada tahun 2012, dan Flores Timur di tahun 2013. Hasil dari penelitian ini akan dijadikan sebagai data dasar (baseline) untuk dipantau lebih lanjut tiap 2 tahun sekali.
Ekspedisi yang dimulai dari tanggal 13 Maret hingga 2 April 2014 ini, berlayar menggunakan Kapal Layar Motor (KLM) FRS Menami. Kapal yang namanya berarti ‘ikan napoleon’ dalam bahasa Wakatobi ini, khusus didatangkan dari Wakatobi untuk membawa tim berkeliling ke lokasi pemantauan seperti Pulau Alor, Solor, Pantar, Adonara, dan Flores Timur. Walaupun sempat terhenti akibat beberapa kendala, tim ekspedisi yang beranggotakan para 15 peneliti muda ini tetap semangat dan dapat menyelesaikan pemantauan ini tepat waktu.
Hasil sementara yang ditemukan selama pemantauan pun cukup tidak mengecewakan. Banyak terumbu karang berkondisi sehat dengan populasi ikan yang terhitung cukup banyak, baik untuk jenis ikan demersal (ikan karang) maupun pelagis (ikan laut dalam). Namun tidak jarang juga ditemui terumbu karang yang rusak bahkan mati akibat pemboman dan penyemprotan potas yang dilakukan oleh sejumlah nelayan tidak bertanggung jawab untuk menangkap ikan.
Terumbu karang yang sehat akan menunjang perikanan yang baik. Terumbu karang tidak hanya bermanfaat sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan oleh gelombang dan ombak laut, tetapi juga merupakan habitat penting dari ikan berprotein tinggi seperti kerapu dan baronang. KKP Alor dan Flores Timur yang merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) ini, berkontribusi penting untuk sektor perikanan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan kedua KKP ini perlu dijaga sebaik mungkin, karena akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan bangsa. Tidak hanya pemerintah, sektor bisnis bahkan masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjaga kelestariannya. Dimulai dengan langkah penangkapan ikan tanpa menggunakan bahan peledak atau potas oleh para nelayan, penerapan rencana pengelolaan perikanan yang berkelanjutan oleh pengusaha bisnis, hingga implementasi gaya hidup hijau oleh para konsumen dengan memilih makanan laut yang diambil dengan langkah yang ramah lingkungan.
Selama kegiatan ekspedisi berlangsung, tim ekspedisi tidak hanya bekerja memantau terumbu karang dan perikanan di lokasi dari pagi hingga sore. Mereka juga menikmati indahnya kekayaan laut Alor dan Flores, seperti melihat ‘atraksi’ spontan sekelompok lumba-lumba yang sedang asyik bermain saat matahari terbenam, bertemu dengan penyu hijau saat sedang menyelam dan menikmati kehidupan bawah laut di malam hari, hingga menari dengan sejumlah kawanan hiu karang. Bahkan, walapun sedang berada di tengah hamparan laut luas, tim #XPDCFloresAlor dan sejumlah crew FRS Menami pun tidak mau ketinggalan untuk menyemarakan Earth Hour yang berlangsung pada tanggal 29 Maret 2014. Tepat pukul 20.30 waktu setempat, saat sedang ‘buang sauh’ di sekitar perairan Teluk Hading, Flores Timur, Kapten FRS Menami mematikan sejumlah lampu di haluan, lantai atas dan samping kapal, selama 1 jam. Lampu di buritan tetap dinyalakan untuk alasan keamanan – agar FRS Menami tetap terlihat oleh kapal-kapal lain yang sedang melintas. Selama aksi switch off tersebut, tim dan crew menjalin keakraban mereka dengan berdiskusi dan berfoto bersama sambil menikmati taburan bintang yang malam itu terlihat sangat terang tanpa polusi cahaya maupun polusi udara.
Info lebih lanjut mengenai kegiatan ekspedisi laut ini, silakan kunjungi wwf.or.id/xpdcfloresalor