MENDORONG TRANSFORMASI BISNIS RAMAH LINGKUNGAN MELALUI LOKAKARYA RENCANA AKSI BERKELANJUTAN
Kebutuhan akan praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab semakin mendesak, baik karena krisis iklim dan tekanan pada kelestarian lingkungan, maupun karena perubahan perilaku konsumen dan permintaan pasar. Melihat pentingnya hal ini, WWF-Indonesia bersama Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Barat menyelenggarakan lokakarya Rencana Aksi Keberlanjutan di Bandung pada 11 November 2025.
Lokakarya ini adalah salah satu aktivitas rutin WWF-Indonesia melalui program Komoditas Berkelanjutan dalam mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk aktif menerapkan praktik bisnis yang berkelanjutan dan mengedepankan nilai-nilai lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik ke dalam strategi bisnisnya. Acara ini dihadiri oleh 20 perusahaan dari berbagai sektor industri, yang datang dengan latar belakang dan tantangan berbeda.
Lokakarya dimulai dengan Angga Prathama selaku Team Lead Komoditas Berkelanjutan WWF-Indonesia yang mengajak peserta untuk memahami konteks global dan tantangan lingkungan yang dihadapi dunia saat ini, seperti krisis iklim, degradasi lahan, dan hilangnya keanekaragaman hayati, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Ini menandakan bagaimana model bisnis konvensional yang hanya mengedepankan efisiensi biaya dan pemaksimalan profit tidak lagi mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zaman.
Dalam pemaparan tim WWF-Indonesia, konsep People–Planet–Profit yang kini diterapkan oleh banyak perusahaan global untuk memastikan mereka tetap relevan, turut diperkenalkan sebagai kerangka kerja bagi para pelaku bisnis yang hadir . Terlebih , Kerangka Kerja dan Standar ESG (Environmental, Social, Governance) juga semakin berpengaruh pada investasi dan ekspansi perusahaan, karena investor, regulator dan konsumen menaruh perhatian besar pada kinerja keberlanjutan perusahaan. Melalui forum ini, WWF-Indonesia menekankan kembali bahwa integrasi keberlanjutan saat ini sudah menjadi salah satu faktor yang menentukan daya saing dan reputasi perusahaan.
Selain pengenalan dasar terhadap isu keberlanjutan dalam sektor bisnis, pembahasan juga mencakup isu rantai pasok, salah satu aspek yang perannya vital dalam perjalanan bisnis perusahaan. Rian Erisman dari tim Komoditas Berkelanjutan WWF-Indonesia mengajak peserta untuk memahami bagaimana asal-usul bahan baku yang tidak diketahui dengan jelas dapat menimbulkan risiko besar, terutama bagi industri yang bahan bakunya berasal dari komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, kopi, kayu dan produk hutan non-kayu, serta karet.
Di Indonesia sendiri, sekitar 45 persen perkebunan sawit dikelola petani swadaya, dan banyak di antara mereka belum terdata secara resmi. Kondisi ini adalah salah satu tantangan proses verifikasi legalitas termasuk di tingkat global, karena mempersulit ketertelusuran produk sawit sampai ke kebun (hulu), sehingga sulit menjamin apakah produk tersebut berasal dari kebun sawit di dalam kawasan hutan atau berperan aktif terhadap deforestasi.
Untuk menjawab tantangan tersebut, WWF-Indonesia memaparkan berbagai contoh solusi berbasis teknologi dan kemitraan.
Salah satu solusi yang dipaparkan WWF-Indonesia adalah bagaimana mendorong penggunaan platform digital untuk memastikan ketertelusuran komoditas perkebunan dari sumbernya. Teknologi pemetaan dan verifikasi seperti ini memberikan peluang bagi petani kecil untuk masuk ke rantai pasok yang lebih transparan dan berkelanjutan, serta memastikan produk mereka tetap laku dan terserap oleh perusahaan-perusahaan FMCG (fast moving consumer good) global yang standar verifikasinya sudah tinggi.
Implementasi serupa juga diperlihatkan pada sektor perikanan, di mana Siti Yasmina Enita dari Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia mendorong peserta lokakarya sebagai konsumen dan perwakilan dari industri ritel yang hadir untuk memanfaatkan informasi asal-usul produk perikanan sebagai dasar pengambilan keputusan, terutama dalam menjaga stok ikan dan biota laut lainnya agar tetap lestari di alam. Dengan kata lain, transparansi dan ketertelusuran produk menjadi salah satu kunci utama yang dibutuhkan baik bagi produsen maupun konsumen.
Rencana Aksi Sederhana Awali Transformasi yang Lebih Besar
Di paruh kedua rangkaian acara, lokakarya ini juga memfasilitasi diskusi tentang bagaimana industri dapat memulai transisi menuju praktik bisnis yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Meidy Mahardani, Kepala Bidang Sarana & Prasarana Pemberdayaan Industri, Disperindag Jawa Barat menjelaskan bagaimana pemerintah berperan penting dalam mendorong industri hijau melalui berbagai kebijakan dan program pendampingan, baik dari tingkat nasional maupun provinsi. Peserta diharapkan mendapatkan gambaran bahwa banyak perusahaan telah melihat peluang bisnis dari efisiensi energi, pengurangan limbah, ekonomi sirkular, serta penggunaan bahan baku bersertifikat. Meskipun tantangan seperti investasi tinggi, biaya awal, keterbatasan SDM, dan kurangnya infrastruktur masih ada, para peserta menyadari bahwa keberlanjutan dapat memberikan nilai tambah yang signifikan mulai dari reputasi, efisiensi, hingga akses pasar yang lebih luas.

Lokakarya ditutup dengan sesi penyusunan rencana aksi keberlanjutan yang difasilitasi oleh Samuel Pablo Pareira, Rizka Nurul Annisa dan Aidia Awaaaba dari tim Komoditas Berkelanjutan WWF-Indonesia. Praktik ini membantu masing-masing perwakilan perusahaan memahami titik awal yang realistis dan langkah-langkah yang bisa mereka ambil dalam jangka pendek serta komitmen keberlanjutan yang bisa diukur dalam jangka panjang.
Dengan suasana diskusi yang terbuka dan interaktif, kegiatan ini memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh bahwa keberlanjutan bukan sekadar tuntutan, tetapi peluang strategis bagi industri dan pelaku bisnis. Setelah lokakarya ini selesai, banyak peserta yang mendapat perspektif baru bahwa transformasi bisnis berkelanjutan dapat dimulai dari langkah kecil.
“Ternyata untuk kita bisa memulai sustainable di sebuah perusahaan tidak sekompleks yang dibayangkankan awalnya, tidak harus dengan modal yang besar, ternyata bisa juga dimulai dari hal kecil” - Beni Kurniawan, Log In Megastore
“Ternyata ada produk-produk yang memiliki ecolabel. Awalnya kami sempat bingung contohnya seperti apa, dan ternyata salah satunya adalah minyak sawit yang sudah berstandar RSPO. Jadi memang ada bahan baku seperti itu” - Muhammad Randy, Kofie Kawan
Pengalaman ini diharapkan dapat menjadi awal bagi manajemen di setiap perusahaan untuk memandang transformasi keberlanjutan sebagai hal yang realistis dan mudah untuk mulai diterapkan.