MENCARI KOTA BERKETAHANAN IKLIM
Hotel Nikko, Jakarta, menjadi ajang curhat para wali kota di depan pejabat Bank Dunia. ""Warga saya tidak bisa lagi memprediksi musim dengan metode tradisional,"" kata Amirul Tamim, Wali Kota Bau Bau, Sulawesi Tenggara.
Berubah-ubahnya cuaca menyebabkan petani gagal panen. Untuk mempertahankan hidup, mereka akhirnya mencari pekerjaan di kota. Derasnya urbanisasi, ujar Amirul, menyebabkan ko semakin padat dan membutuhkan lahan untuk permukiman baru.Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra mengeluhkan banjir yang selau merendam wilayahnya. Naiknya permukaan air laut dan curah hujan yang tinggi menyebabkan Sungai Musi meluap. Kondisi itu diperparah, katanya, oleh banyaknya penebangan hutan di hulu Sungai Musi.
Keluhan sejenis disampaikan oleh Sofyan Hasdam, Wali Kota Bontang, Kalimantan Timur. Dia mempersoalkan kebijakan aneh pemerintah pusat yang menjual gas sangat murah ke Cina dan negara lain. Sedangkan di dalam negeri, harganya mahal.Gerutuan orang nomor satu di beberapa kota itu terekam pada acara peluncuran laporan Bank Dunia yang bertajuk Kota Berketahanan Iklim Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana, Kamis pekan lalu di Hotel Nikko. Fatima Zehra Shah, ekonom perkotaan dari kantor pusat Bank Dunia, menjadi salah satu pembicara pada acara itu.
Menurut Fatima, pedoman dasar itu menjadi pegangan pemerintah kota di wilayah Asia Timur untuk lebih memahami cara menyusun perencanaan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan ancaman bencana alam yang akan datang. ""Melalui perencanaan kota yang baik untuk mengurangi kerentanan,"" ujar Urban Economist Infrastructure Unit Sustainable Development Department World Bank. Kali ini, Bank Dunia memang memfokuskan diri pada Asia Timur. ""Kawasan ini akan menghadapi pukulan terberat dari dampak perubahan iklim,"" tulis Keshav Varma, Direktur Sektor Perkotaan, Air, dan Unit Manajemen Bencana Kawasan Asia Timur dan Pasifik
Bank Dunia. Dia merujuk bencana topan Nargis yang menewaskan 85 ribu warga Myanmar pada Mei 2008. Lalu pada Agustus 2008, hujan deras di Laos menyebabkan Sungai Mekong meluap ke titik tertinggi sejak 100 tahun terakhir.Menurut Varma, dampak perubahan iklim pada kota-kota di Asia Timur dan Pasifik memang lebih dramatis. Sebab, kegiatan ekonomi dan sosial di kawasan ini juga lebih dinamis. Apalagi di Asia Timur terdapat lebih dari 30 kota-kota megapolitan dengan populasi lebih dari 5 juta penduduk.
Selain itu, 8 dari 10 kota berpenduduk terpadat, termasuk lima kota dari Asia Timur, rentan terhadap bahaya gempa bumi tingkat menengah sampai tinggi. Demikian juga dengan 8 dari 10 kota terpadat yang berlokasi di sekitar pesisir pantai rentan terhadap bencana badai dan tsunami. Tak hanya itu, sekitar 46 juta jiwa penduduk berdiam di kota-kota yang setiap tahunnya menghadapi ancaman banjir yang diakibatkan oleh badai topan di wilayah Asia.
Pedoman dasar yang diusulkan Bank Dunia menggabungkan perubahan iklim dengan manajemen risiko bencana. ""Setelah itu, membuat pendekatan ganda dengan pilihan, baik mitigasi maupun adaptasi,"" kata Iwan Gunawan, Senior Disaster Management Adviser Bank Dunia. Pemerintah kota perlu membuat matriks ""hotspot"" untuk mengidentifikasi potensi kerentanan serta menentukan prioritas tindakan dan kemajuan standar.Kepala Bidang Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Dadang Hilman menjelaskan rendahnya tingkat kesadaran para perencanakota. Dia merujuk hasil survei tentang bagaimana mengimplementasikan perubahan iklim ke tugas pokok dan fungsi pejabat di daerah.
Dadang khawatir perubahan iklim yang menjadi isu seksi hanya melahirkan program abal-abal atau asal-asalan.""Nama proyeknya untuk mengatasi dampak perubahan iklim, tapi temyata isinya bukan,"" katanya. Kekhawatiran Dadang beralasan. Maklum, triliunan rupiah dana APBN harus dikeluarkan guna merealisasi program Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi 26 persen.Belum lagi ada dana luar negeri, baik lewat lembaga internasional maupun bilateral. Dana adaptasi perubahan iklim PBB melalui Fasilitas Lingkungan Global, misalnya, diproyeksikan mencapai USS 80-300 juta selama 2008-2012. Sementara itu, dana program Fasilitas Global untuk Pengurangan dan Penanggulangan Bencana mencapai USS 15-20 juta per tahun.