MENANTI KEPASTIAN PENYELESAIAN BENCANA ASAP
Oleh Syamsidar
Setiap tahunnya, selama tujuh belas tahun asap menyelimuti Provinsi Riau. Hingga kini belum ada solusi nyata untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan, serta kabut asap yang ditimbulkannya. Setiap musim kemarau tiba, ratusan hots spot (titik panas) terdeteksi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit, Hutan Produksi, lahan masyarakat, bahkan kawasan konservasi dan hutan lindung. Kebakaran ini menghabiskan ratusan hektar lahan dan hutan setiap tahunnya, menimbulkan asap yang mengepung hampir seluruh penjuru Bumi Lancang Kuning.
Parahnya lagi kebakaran hutan dan lahan kerap terjadi pada kawasan gambut yang memiliki sifat mudah terbakar di musim kemarau. Lapisan-lapisan organik lahan gambut menyimpan bara api yang tidak terlihat dipermukaan, namun tetap mengeluarkan asap dan jika tertiup angin akan menyala kembali.
Riau mulai kembali diselimuti asap sejak awal Februari 2014. Semakin hari semakin menebal sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas warga karena kualitas udara yang berbahaya dari partikel asap. Untuk pertama kalinya, sekolah-sekolah diliburkan agar siswa tidak menghirup udara berbahaya. Dalam satu bulan terakhir, lebih dari 10 ribu warga Pekanbaru menderita ISPA (Inpeksi Saluran Pernapasan Atas) akibat menghirup udara yang tidak sehat. Jumlah ini belum termasuk di kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Riau.
Titik Api Terpantau di Kawasan Gambut
Menurut pantauan WWF sepanjang Februari 2014 di kawasan gambut terdeteksi 2370 titik api, sementara itu untuk tanggal 11 Maret 2014 saja terpantau 499 titik api di kawasan ini. Jumlah ini memberikan indikasi mengapa semakin hari kabut asap semakin menebal di Provinsi Riau. Padahal gambut merupakan kawasan moratorium alias tidak boleh ada aktifitas pembukaan kawasan tersebut. Selain itu, pada periode yang sama terdeteksi 188 titik api di kawasan hutan yang masuk dalam moratorium. Siapa yang bersalah? Mengapa kebakaran bisa terjadi di kawasan ini?
Riau memiliki 4 juta hektar kawasan hutan gambut salah satunya adalah blok hutan Giam Siak Kecil dengan kedalaman gambut lebih dari 5 meter. Hutan gambut Giam Siak Kecil merupakan cadangan karbon global. Menebang pohon atau merusak lahan tanahnya saja akan menimbulkan emisi karbon yang berdampak bagi perubahan iklim global.
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya di lahan-lahan rawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat.
Kawasan hutan gambut idealnya tergenang air sepanjang tahun. Sayangnya, para pemilik konsesi HTI akasia atau perkebunan sawit membuat kanal untuk mengeringkan kawasan basah ini. Pembuatan kanal tersebut mengakibatkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar pada musim kemarau. Kebakaran kawasan gambut biasanya merambat hingga ke bawah permukaan gambut, sehingga mengakibatkan sulitnya pemadaman api.
Pembukaan lahan gambut dan hutan merupakan sumber terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia. Emisi dari lahan gambut mencapai sekitar 45% dari keseluruhan emisi gas rumah kaca di Indonesia saat ini. Untuk sektor kehutanan, emisinya mencapai lebih dari 35%. Potensi pengurangan emisi GRK yang paling besar diperoleh dari upaya pengurangan laju perusakan hutan (deforestasi) dan melalui rehabilitasi lahan gambut yang rusak.
Asap Melumpuhkan Nadi Perekonomian Riau
Dalam lima tahun terakhir bencana asap tahun ini adalah yang terparah. Tebalnya kabut asap yang menyisakan jarak pandang hanya beberapa ratus meter membahayakan lalu lintas, baik udara ataupun sungai. Dalam dua minggu terakhir telah terjadi pembatalan beberapa penerbangan dan bahkan penutupan bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru.
""Dari pagi sampai saat ini, pukul 12.00 WIB, belum ada pesawat yang berani mendarat,"" kata Airport Duty Manager SSK II Hasnan. Ia mengatakan, asap akibat kebakaran lahan membuat jarak pandang di landas pacu Bandara SSK II hanya 300 meter pada pukul 09.30 WIB. Buruknya kondisi terus berlangsung hingga siang. Jarak pandang siang hari pukul 12.00 WIB naik sedikit menjadi 600 meter. Namun, kondisi itu tetap berbahaya karena batas minimum yang aman adalah 1.000 meter. (Dikutip dari Antara Riau,12 Maret 2013).
Hingga hari ini penutupan bandara terus terjadi.Keterlambatan penumpang untuk mencapai Pekanbaru atau sebaliknya telah menyebabkan kerugian materil yang dirasakan oleh masyarakat. Beberapa penerbangan dialihkan pendaratannya ke Bandar Udara di Kota Padang atau pun Batam. Masyarakat terpaksa merugi dari segi waktu dan biaya. Pengalihan ini juga tidaklah mulus karena penumpukan penumpang pun terjadi di kota transit tersebut.
Satuan Tugas Penanggulangan Asap Riau yang terdiri dari berbagai instansi terkait termasuk TNI dan Polri telah berupaya sedemikan rupa untuk memadamkan api di beberapa kawasan yang terbakar. Beberapa pembakar lahan telah ditangkap, bahkan belum lama ini Satgas berhasil menangkap oknum TNI , Sersan Mayor Sudigdo sebagai otak pelaku perambahan di kawasan Cagar Biosfir Giam Siak Kecil –Bukit Batu. Apresiasi yang besar patut disampaikan kepada petugas karena mereka telah berupaya memadamkan api agar asap yang menyelimuti Riau segera menghilang.
Namun yang paling penting adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini tidak terjadi lagi kedepannya. Inilah yang menjadi harapan masyarakat Riau yang mendambakan udara bersih sepanjang tahun. Untuk itu pemerintah harus menyelidiki hingga tuntas kasus-kasus kebakaran lahan yang terjadi dan secara tegas memberikan sanksi hukuman kepada pelaku pembakar hutan, baik individu atau pun korporasi.
*Penulis adalah Manajer Komunikasi WWF Indonesia, tinggal di Pekanbaru, Riau.