MEMBANGUN KOMITMEN MASYARAKAT BENGKULU DALAM MERAWAT ALAM LEWAT PROGRAM SEKOLAH LAPANG PERTANIAN ORGANIK
Oleh: Hijrah Nasir
Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melingkupi 3 provinsi yakni Lampung, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. Sejak 20 tahun terakhir, WWF telah mendampingi masyarakat di Lampung yang hidup di sekitar kawasan hutan. Tahun 2017 menandai awal pendampingan WWF kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNBBS di daerah Bengkulu. Sejak Februari 2017, WWF telah memberikan pelatihan kepada petani di dua Desa yakni Sukajaya dan Trijaya, Kecamatan Nasal, Kabupaten Bengkulu dengan pendekatan Sekolah Lapang pertanian organik dengan komoditas kopi.
Pada Tanggal 23 – 24 Januari 2018 lalu, WWF melakukan sosialisasi rencana program di Kaur Bengkulu yang diberi nama program “Desa Membangun”. Terminologi Desa Membangun digunakan untuk memberikan penekanan bahwa desa bisa mengembangkan diri secara lebih mandiri dengan segala potensi sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat. Sosialisasi ini dilakukan di 3 desa, yakni Sukajaya, Trijaya, dan Tebing Rambutan yang dihadiri oleh setidaknya 150 orang yang merupakan masyarakat di 3 desa.
Sosialisasi ini dilaksanakan dalam rangka meminta dukungan dari pemerintah desa dan masyarakat terkait dengan program WWF yang akan dijalankan di desa-desa tersebut. Hal ini dianggap penting untuk membangun komitmen masyarakat dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui keterlibatan dan dukungan penuh dari mereka. Sambutan diberikan oleh Kepala Desa yang berharap kegiatan ini bisa memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan pendampingan WWF diharapkan bisa menggali potensi dan mengenali masalah yang dihadapi di desa sehingga bisa menjadi acuan untuk membangun desa yang lebih baik.
Project Manager WWF Indonesia - Southern Sumatra Program, Yob Charles, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa ada 3 program utama yang akan dilakukan di 3 desa, yakni pendampingan kepada desa untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Salah satu bagian dari RPJMDes adalah menggali potensi, masalah, dan ancaman yang dihadapi oleh desa, sehingga diharapkan kelompok masyarakat setiap dusun bisa terlibat untuk menyusun program perencanaan desa dan tata ruang desa yang baik serta membuat gambaran lewat rencana tata ruang desa yang bisa menjadi pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung. Diharapkan ke depannya akan ada kelompok yang bisa memantau tata ruang desa. Sebelumnya, pada November 2017, WWF telah melatih kader-kader dari desa dampingan termasuk masyarakat Desa Sukajaya, Trijaya, dan Tebing Rambutan untuk mengikuti ToT (Training of Trainers) Penyusunan RPJMDes.
Selain itu, program lainnya adalah melatih kader-kader pertanian dan melahirkan pelatih-pelatih sekolah lapang dari desa. Untuk itu pada Februari Mendatang, WWF akan mengadakan pelatihan untuk fasilitator (ToT) pertanian organik selama Satu bulan yang diikuti oleh perwakilan dari 3 desa dengan komoditas kopi, coklat, karet, dan lada. Diharapkan pelatih-pelatih lokal bisa melatih kelompok-kelompok petani lain di desanya. Konsep pertanian berkelanjutan diharapkan bisa diadopsi di desa. Untuk menguatkan konsep tersebut, petani bisa membangun integrasi antara kebun dan ternak.
Pak Subali sebagai fasilitator Sekolah Lapang dari WWF memberikan contoh tentang integrasi kebun kopi dan ternak ayam yang diimplementasikan di daerahnya. Petani membutuhkan kotoran ternak untuk membuat pupuk organik, sementara ternak bisa memenuhi kebutuhan makanan dan nutrisinya dengan memakan tanaman Arachis pitoi yang di tanam di bawah pohon kopi. Tanaman ini dipercaya dapat menghambat pertumbuhan gulma, dan membantu mengembalikan kesuburan tanah karena memiliki kemampuan untuk menambat nitrogen seperti jenis kacang-kacangan lainnya, dan juga sebagai makanan ternak. Sementara untuk pakan ternak lain bisa mendapatkan pakan dari pohon-pohon berkanopi yang ditanam di sela-sela pohon kopi yang berfungsi untuk melindungi kopi dan daunnya bisa menjadi pakan ternak.
Konsep sekolah lapang pertanian adalah konsep pertanian berkelanjutan yang dibangun dengan menjadikan petani sebagai subjek penelitian melalui serangkaian uji coba yang dilakukan di plot percobaan. Selama 4 bulan, petani akan melakukan pengamatan, mengidentifikasi hama tanaman dan masalah tanaman lainnya, penyebab, dan mencari tahu solusinya serta mempelajari fungsi ekosistem secara umum. Sehingga yang dikembangkan dalam pendekatan ini adalah pertanian yang berlandaskan pengetahuan ilmiah. Pendekatan yang dikembangkan ini diharapkan bisa menjadi solusi bagi masalah pertanian yang selama ini dipraktekkan secara tidak berkelanjutan oleh banyak petani dengan pemakaian pestisida dan insektisida kimiawi secara berlebihan yang berbahaya bagi ekosistem. Selain berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, pendekatan ini juga telah dibuktikan mampu menurunkan biaya produksi karena rendahnya input produksi yang harus dibeli dari luar oleh petani. Diharapkan hal ini dapat dikembangkan secara luas oleh masyarakat untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia.
Melatih fasilitator di desa adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas petani untuk memberikan pelatihan kepada petani lainnya. Hal ini dianggap lebih efektif karena bahasa yang disampaikan oleh fasilitator lokal akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Selain itu, desa juga menghadapi tantangan dengan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan sebagai buruh di perkebunan sawit. Sehingga perlu ada langkah antisipatif dari masyarakat jika kebun sawit sudah tidak produktif dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya untuk tanah. Dengan potensi besar yang dimiliki di desa perlu didukung oleh tata kelola yang baik.
Program selanjutnya adalah pelatihan pembuatan kandang anti-satwa. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi datangnya satwa liar yang bisa memangsa ternak masyarakat, mengingat lokasi desa yang dekat dengan kawasan hutan. Dari semua program ini, hal yang paling penting adalah bagaimana membangun kesepakatan dengan masyarakat untuk menjaga lingkungan dengan kearifan lokal atau budaya yang dimiliki dan bisa tertanam dalam kehidupan masyarakat.
Langkah ini diharapkan mampu menjadi jembatan untuk menguatkan komitmen dan mengubah pola pikir masyarakat dalam membangun hubungan dengan alam sekitarnya yang mampu menjadi upaya konkret bagaimana masyarakat bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.