MASYARAKAT SEKITAR TNDS-TNBK TANAM KARET UNTUK PULIHKAN KORIDOR ORANGUTAN
Masayu Yulien Vinanda atau yang akrab disapa Nanda ini sudah 3 tahun bergabung di WWF Jakarta sebagai Media Content Development Officer. Selain mengembangkan konten untuk website dan blog WWF-Indonesia, ia juga menjadi Redaktur Pelaksana majalah Living Planet Magazine (majalah untuk Supporter WWF-Indonesia yang terbit setiap 4 bulan). Melalui tulisannya, ia berupaya untuk menjadikan isu lingkungan menjadi lebih ""dekat"" di kehidupan masyarakat yang lebih luas.. Profil penulis selengkapnya...
Salah satu strategi yang diterapkan WWF guna mempertahankan keberadaan orangutan dan habitatnya khususnya di hutan Kalimantan Barat adalah dengan membangun “koridor satwa.” Jalur lintas satwa ini menghubungkan dua kawasan konservasi yakni Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum. Koridor satwa itu juga mengapit dua sungai besar di Kalbar yaitu Sungai Labian-Leboyan (TNDS) dan Sungai Embaloh (TNBK).
Dalam memulihkan koridor tersebut, WWF ga sendirian. Masyarakat di sejumlah desa di wilayah Sungai Labian-Leboyan menjadi aktor utama dalam mensukseskan restorasi kawasan itu. Salah satu program yang lagi digiatkan adalah Rubber Agroforestry System (RAS). Sistem hutan campuran dengan tanaman karet ini selain memberikan manfaat secara ekologi juga mampu memberikan keuntungan ekonomi pada masyarakat lokal. Jadi ga cuma hutannya yang terjaga, tapi masyarakat juga bisa dapet penghasilan tambahan. Fair enough :-)
Saat berkunjung ke TNDS saya sempat ngobrol-ngobrol sama Koordinator Pemberdayaan Masyarakat WWF Kalbar, bang Anas Nasrullah. Walaupun singkat, pembicaraan waktu itu bener-bener memberi saya pencerahan tentang makna konservasi. Kalau ternyata konservasi itu hakikinya ga melulu ngurusin permasalahan lingkungan aja, tapi juga secara bersamaan memberdayakan masyarakat sekitar yang juga berdampak pada peningkatan ekonominya. Nice!
Bang Anas ini cerita asal muasal ide pengembangan karet di Labian-Leboyan. Jadi ide itu muncul setelah tim WWF diskusi dengan masyarakat, gali lebih dalam lagi apa sebenernya kebutuhan mereka. Dan hasilnya, ternyata mereka sudah cukup akrab dengan berkebun karet. Akhirnya, dibuatlah semacam kontrak konservasi untuk memastikan agar aktivitas berkebun karet sesuai dengan prinsip konservasi dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dari hulu sampai hilir Sungai Labian, total terdapat 22 kampung. Hingga kini, tim Community Empowerment WWF Kalbar telah mendampingi 16 kampung yang terletak di bagian hulu hingga tengah Sungai Labian.Di desa Labian, WWF mendampingi 429 KK untuk mengembangkan karet. Untuk memudahkan pendampingan, setiap KK melebur dalam kelompok-kelompok kecil. Pusat-pusat perkebunan karet unggul sudah ada di kelompok itu.
Kesuksesan usaha karet di hulu ini menarik perhatian masyarakat di desa Melemba. Masyarakat yang tinggal di tengah-tengah Sungai Labian-Leboyan ini pun lalu meminta WWF untuk memfasilitasi dan mendampingi mereka dalam mengembangkan karet.
Menindaklanjuti permintaan masyarakat, WWF lalu membuat rencana pengembangan karet di Melemba. Studi sosial ekonomi dilakukan untuk mendata jumlah karet yang dilbutuhkan. Hasil analisa yang didapat, di desa Melemba total terdapat 30 KK, dimana setiap KK rata-rata memiliki lahan seluas 1-2 hektar. Dengan memperhitungkan jarak tanam karet 4mx6m, maka diperkirakan tiap 1 hektar lahan mampu ditanami 500 pohon. Nah hasil observasi dan studi lapangan itu dan juga diskusi dengan masyarakat, akhirnya ditetapkan, setiap KK akan diberikan 1000 pohon karet.
Sementara untuk melakukan persiapan sebelum menanam, distribusi pohon, dan pendampingan pada masyarakat, WWF dibantu kelompok masyarakat BELEKAM. Kelompok ini adalah anggota masyarakat setempat yang sudah dibina dan didampingi WWF dan dinilai mampu untuk berbagi pengetahuan dan keterampilannya pada kelompok masyarakat lain. Mereka adalah motor penggerak masyarakat, atau dengan kata lain, mereka inilah kepanjangan tangan WWF yang selama ini berperan besar dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Seperti itulah pendekatan community empowerment yang dilakukan tim WWF. Yaitu bagaimana melahirkan leader masyarakat yang nantinya bisa memberikan asistensi ke kelompok-kelompok yang lain. Di tiap-tiap DAS WWF punya kelompok binaan macam BELEKAM ini. BELEKAM sendiri khusus membantu masyarakat di sekitar Sungai Labian. Nah BELEKAM inilah yang akan menyiapkan 30.000 pohon karet yang dibutuhkan, dan mengatur disitribusinya. Ga cuma persiapan sebelum nanam, pendampingan juga akan dilakukan pasca penanaman. WWF dibantu BELEKAM akan mensosialisasikan teknologi arang sebagai stimulan untuk kompos. Teknik menghasilkan arang dan bagaimana aplikasinya terhadap karet.
Sementara pada proses panen, beragam pelatihan khusus dilakukan guna mempertahankan kualitas getah karet yang dihasilkan. Mulai dari skill building, teknologi arang terpadu, manajemen lahan, teknik menyadap, dan lain sebagainya.
Untuk pemasaran, WWF merangkul PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk menyerap karet produksi masyarakat lokal itu. Khusus di Melemba, produksi karet yang telah teridentifikasi sekitar 20 ton perbulan. Jika dijumlahkan dari seluruh wilayah Sungai Labian-Leboyan yang luasannya mencapai 175 ribu hektar, karet yang dihasilkan ternyata bisa sampe 110 ton lebih perbulan!! PTPN sendiri sanggup membeli karet hasil masyarakat ini dengan harga sekitar 16 sampai 18 ribu rupiah perkilogramnya.
Karet yang dihasilkan masyarakat ini kualitasnya beragam. Nah, dalam hal ini WWF turut serta menentukan standar kualitas mana yang akan disalurkan ke PTPN, harganya berapa, dan juga kapasitasnya. Termasuk juga identifikasi kapasitas produksi masyarakat. Perhari, perbulannya, dan pertahunnya berapa. Berapa karet yang dihasilkan pada masa peak-nya (puncak produksi) lalu berapa saat low production-nya. Dari sini, nanti akan dapat ditentukan berapa kapasitas sebenarnya yang dapat dikontrakkan dengan PTPN.
 
       
 
 
 
