LANGKAH AWAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KETERSEDIAAN PANGAN DI JANTUNG BORNEO
Oleh: Cristina Eghenter
Makanan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Antropolog, folklorists dan sejarawan telah mengatakan kepada kita bahwa konsumsi makanan, apa yang kita klasifikasikan sebagai makanan, bagaimana kita mempersiapkan dan memakannya, ternyata mewujudkan makna budaya yang mendalam. Resep makanan mencerminkan sejarah, membawa tradisi dan mengungkapkan identitas kelompok etnis. Makanan menandai setiap perayaan siklus hidup. Makanan juga merupakan bagian dari sistem produksi yang diambil dari bumi, laut, serta keragaman sumber daya alam, dan melalui petani, nelayan, serta pecicip makanan yang menyampaikan kepada pasar dan memasuki lingkaran sosial. Menilai makanan dalam dimensi relasional ini dapat menimbulkan kesadaran baru mengenai bagaimana makanan yang dipilih dan dikonsumsi dapat mengubah produksi dan menciptakan hubungan yang lebih kuat antara produsen dan konsumen.
Bagi HoB, tradisi kuliner mencerminkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang kaya akan hutan, kebun, sawah dan sungai. Tradisi tersebut juga dapat didefinisikan sebagai identitas etnis masyarakat yang ada di HoB. Selain berbagi pengetahuan dan penggunaan sejumlah besar tanaman pangan dan bahan utama dari masakan lokal, masyarakat secara khusus juga menampilkan cara yang unik untuk mengolah dan memasak makanan, serta memiliki preferensi makanan yang membedakan mereka sebagai komunitas etnis dengan makan, misalnya: sagu, ketan, beras dicampur dengan talas, dll.
Sebagai contoh beras Adan Krayan, dengan karakteristik tiga varietas (putih, merah dan hitam), garam gunung dari dataran tinggi di HoB, madu hutan dari Danau Sentarum , serta berbagai macam jenis ikan yang berasal dari sungai-sungai di sekitar taman nasional Sebangau, dan lebih banyak produk dari masyarakat adat akhirnya menjadi cukup populer dan sedang dipasarkan secara lokal dan nasional. Beberapa dari produk ini juga didukung oleh WWF Indonesia sebagai bagian dari inisiatif Green & Fair Products untuk memfasilitasi hubungan pedesaan - perkotaan, dan mengintegrasikan pasar, konservasi, serta kekhawatiran ekuitas. Belum lama ini, beras Adan Krayan dan garam gunung ikut berpartisipasi dalam pameran AsioGusto di Korea Selatan (Oktober 2013), sebuah acara yang bekerjasama dengan Slow Food movement.
Dalam konteks Heart of Borneo, masalah ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan pangan, pengetahuan dan praktek tradisional yang berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan mata pencaharian masyarakat selama berabad-abad. Keamanan dengan memperhatikan makanan, dan keberlanjutan penggunaan lahan, tentu menjadi perhatian utama mengingat meningkatnya konversi lahan untuk agribisnis di berbagai area di Kalimantan. Namun hal tersebut merupakan suatu ketahanan lokal dan kemandirian masyarakat dan desa sebagai titik awal dan tujuan utama dalam membangun ketahanan pangan jangka panjang dan juga mengurangi kerentanan di tingkat lokal. Konservasi dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati produk dan pengetahuan lokal tidak hanya melalui sertifikasi, promosi, dan budidaya, namun juga dengan penemuan dan pengamanan identitas budaya makanan yang dibahas dalam lokakarya dua hari di Pontianak (28 - 29 November) yang dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat lokal, LSM lokal serta perwakilan pemerintah. Ini merupakan langkah penting ke arah pengembangan strategi yang tepat dan efektif untuk melihat masalah pangan di HoB dalam kompleksitas konservasi keanekaragaman hayati, hak dan ketersediaan, serta ekonomi lokal. Berfokus pada makanan, kami juga dapat membantu membangun komunitas virtual dari produsen dan konsumen, di mana yang terakhir datang untuk mengetahui tempat, cerita dan pembuatan di balik makanan, serta tidak ada lagi produk yang tidak jelas, namun mencerminkan secara khusus aspek ekonomi, lingkungan dan juga dimensi sosial-budaya.