LAHAN BASAH, ASET PENTING BAGI LINGKUNGAN HIDUP
Oleh: Natalia Trita Agnika
Setiap tanggal 2 Februari, dunia memperingati World Wetlands Day (Hari Lahan Basah Sedunia). Peringatan ini bermula dari sebuah konvensi internasional yang belangsung di Ramsar, Iran, pada 2 Februari 1971 silam. Konvensi yang kemudian dikenal sebagai Konvensi Ramsar tersebut menyepakati tentang penyelamatan lahan basah bernilai penting di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang turut meratifikasi Konvensi Ramsar pada tahun 1991 melalui Keppres No. 48 tahun 1991.
Publik mungkin belum banyak mengenal tentang lahan basah. Padahal, lahan basah merupakan aset penting bagi lingkungan hidup. Lahan basah memiliki ekosistem yang produktif dan keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan wilayah lain. Berdasarkan Konvensi Ramsar, yang dimaksud dengan lahan basah adalah daerah-daerah rawa (termasuk rawa bakau/mangrove), payau, lahan gambut, dan perairan, baik alami atau buatan dengan air yang tergenang atau mengalir berupa air tawar, payau atau asin. Wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut juga termasuk lahan basah.
Salah satu lahan basah yang banyak terdapat di Indonesia adalah hutan mangrove yang memiliki beragam manfaat, baik dari sisi ekologi maupun ekonomi. Hutan mangrove menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai atau angin kencang dari laut, serta menahan hasil proses penimbunan lumpur. Hutan mangrove juga menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Kemampuan hutan mangrove menyerap karbondioksida sangat berguna dalam usaha mengurangi pemanasan global. Beragam satwa seperti ikan, udang, kerang, kepiting, udang, dan burung mendapatkan makanan, tempat tinggal, memijah dan berkembang biak di lahan basah ini. Sedangkan dari sisi ekonomi, hutan mangrove dapat menghasilkan bahan makanan, kerajinan, maupun ekowisata berbasis mangrove.
Pada tahun 2002, Indonesia memiliki tutupan mangrove terbesar di dunia sekitar 8,5 juta hektare. Namun dalam survei lanjutan yang digelar Kementerian Kehutanan tahun 2010 silam, hutan mangrove Indonesia kini tersisa sekitar 3 juta hektare. Ratusan ribu hektare hutan mangrove telah ditebangi dan dikonversi menjadi daerah budidaya tambak. Setelah kehilangan produktivitasnya, banyak dari tambak tersebut telah ditinggalkan dan dilupakan. Pembangunan wilayah perkotaan, penebangan dan konversi lahan untuk pertanian atau tambak garam, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, polusi, dan panen kayu berlebihan dari hutan mangrove juga menjadi penyebab terjadinya degradasi hutan bakau.
Karena itulah, gerakan untuk pemulihan kawasan mangrove sangat diperlukan. Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia menjadi pengingat bagi pemerintah dan publik untuk menjaga dan merehabilitasi aset penting bagi lingkungan hidup tersebut. Pada tahun 2016 ini, tema Hari Lahan Basah Sedunia adalah “Wetlands for Our Future: Sustainable Livelihood” (Lahan Basah untuk Masa Depan Kita: Mata Pencaharian Berkelanjutan).
Individu sebagai bagian dari masyarakat dapat turut menghijaukan kembali hutan mangrove di Indonesia melalui www.mybabytree.org. Program penanaman mangrove ini memberikan wacana baru bagi masyarakat guna membantu proses reforestasi untuk melindungi hutan mangrove dan mengawasi pertumbuhan mangrove melalui Geotag (pelabelan pohon dengan garis lintang dan garis bujur/koordinat lokasi yang tepat).
Tidak hanya menitikberatkan pada upaya penghijauan saja, program yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia ini juga melibatkan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi dalam kegiatan penanaman, perawatan, dan monitoring pohon. Dengan demikian, ketika turut menanam mangrove melalui program MyBabyTree, publik atau korporasi juga turut berkontribusi dalam upaya konservasi lingkungan, community empowerment, dan terlibat dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan.