KOMPENSASI MORATORIUM HUTAN INDONESIA DINILAI TERLALU KECIL
Jakarta - Moratorium Kehutanan yang ditandatangani bersama Indonesia dan Norwegia ternyata banyak merugikan pemerintah Indonesia. Pasalnya, nilai kompensasi yang diberikan pihak Norwegia itu hanya US$1 miliar atau setara dengan 6% dari nilai APBN Norwegia. Jelas angka ini terlalu kecil buat Indonesia.
NERACA
"" ladi kalau dihitung- hitung ya memang kecil, apalagi kompensasi itu diberikan selama 6 tahun. Ya, nilainya setara dengan 6% nilai APBN Norwegia,"" ujar ekonom senior Institute of Development of Economic ""and Finance (Indef) Drajad Wibowo dalam diskusi publik di Jakarta, Jakarta (19/8).
Saat ditanya apakah itu berarti Norwegia menganggap rendah sumber daya alam hutan Indonesia, Drajad tak mau menjawabnya. ""Saya tak bisa bicara seperti itu,"" ujarnya.
Dia mengingatkan kembali pemerintah soal penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada 26 Mei 2010 karena dalam perjanjian itu banyak kelemahannya
Menurut dia, bukan cuma tak sebanding dengan penerimaan pajak yang didapat dengan terus memanfaatkan hasil hutan, pemerintah harus berjaga-jaga pemerintah Norwegia tidak melakukan pembayaran tersebut ""Bisa saja tidak dibayar. Tidak ada klausul yang mengatur dan tak ada sanksi,. Norwegia hanya menggunakan kata Tjemiat membayar (intend to) bukan pasti membayar dalam nota Lol-nya,"" terangnya
Lebih jauh kata Drajad, bandingkan dengan penerimaan pajak penjualan yang didapat dari nilai ekspor kertas dan barang dari kertas Selama Januari-April 2010 sebanyak US$1,7 miliar, kemudian untuk minyak sawit dan pengolahan sawit US$3,88 miliar. Sementara pengolahan kayu sebanyak US$1,5 miliar. ladi totalnya US$7,11 miliar.
Menurut Dradjad, Indonesia bila tak melakukan moratorium penebangan hutan secara nationwide justeru akan menghasilkan devisa jauh lebih besar. ""Intinya, bila tak ada moratorium hutan Indonesia akan mendapat US$800 juta dalam satu tahun hanya dari pajak penghasilan kegiatan ekspor produk golongan kertas, sawit, dan kayu umumnya,"" paparnya.
Namun bagaimanapun, Drajad menegaskan Lol tersebut bagus dari segi inisiatifnya. ""Itu kebijakan presiden yang harus kita dukung. Makanya US$800 juta per tahun itu baru sebagianpajakyang kita bisa peroleh. Masih ada pajak-pajak lainnya, sebut saja PPh orang pribadi, PPh pemilik, PPh manajemen, PPh karyawan, hingga PPh Badan dan PPN produk dan belanja rumah tangga pemilik usaha pengolahan kayu,"" ujarnya
Lantas apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia setelah penandatanganan LoI tersebut dilakukan pada 26 Mei 2010 silam antara kedua negara, dia menyatakan masih banyak yang bisa dilakukan. ""Masih bayak celah atau peluang untuk menerapkan sustainable forest management. Saran saya ke Kementerian Kehutanan, jangan terpaku ke LoI. Tetaplah isi hutan dengan kegiatan apa yang kita mau,"" ujarnya.
Celah yang tersisa diantaranya adalah belum ditetapkannya klasifikasi hutan yang masuk kategori moratorium konversi hutan. ""Disebut hutam alam dan gambut, tapi hutan alam dan gambut yang mananya belum diatur,"" ungkapnya.
Demikian juga dicontohkan
Drajad mengenai tanggal dimulainya suspensi penebangan hutan yang belum ditetapkan. ""Selagi belum ditetapkan tanggalnya, Indonesia bisa beralasan hendak membuat undang-undang yang khusus mengatur mengenai konservasi hutan terlebih dulu. Indonesia jangan terlalu over estimasi uang dari LoI itu maupun komitmen Norwegia,"" ujarnya.
Secara terpisah, pengamat ekonomi Ghristianto Wibisono meminta agar negara berkembang terutama pemilik hutan tropis yang sudah bergabung dalam dua organisasi, mestinya mawas diri dan mempersatukan diri dalam suatu OPEC Forest. ""Kalau hutan dihargai sebagai jaringan hidrologis, maka nilainya Iebih besar dari sekedar dilestarikan untuk emisi karbon. Ada yang bilang nilai tutupan hutan dan jaringan hidrologis sekitar 5 dolar per ton atau 20 dolar per ton un-tuk hutan yang mandatory harus di pertahankan,"" uj arnya.
Oleh karena itu, dia menilai harus ada terms of trade yang lebih wajar, fair dan ""setara"" terutama dalam menentukan nilai jual. ""Baik nilai tutupan lahan dengan dana negara maju yang ingin menukar polusi dengan emisi karbon mereka dengan tindakan pelestarian hutan negara berkembang, seperti Indonesia dan forest 11 .""jelasnya.
Yang jelas, lanjut Christianto, dibalik NGO yang sangat anti bisnis dan industri negara berkembang adalah ""industri baru pem-berhalaan lingkungan"" yang bisa mengorbankan kepentingan negara berkembang seperti Indonesia.
Sementara, Dodik Ridho Nu-rochmat sang penulis buku Membongkar Mitos dan Fakta Seputar Kehutanan menjelaskan banyak kalangan mensinyalir industri ke-hutanan Indonesia saat ini sedang mengalami ""sunset industries"" Karena menurunnya produksi dan pangsa ekspor di pasar internasional dalam beberapa tahun terakhir. ""Kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya daya saing akibat ketidakpastian pasokan bahan baku kayu bulat yang makin langka,"" ujarnya.
Minggu lalu, Menhut Zulkifli Hasan menegaskan moratorium kehutanan mulai efektif pada 2011.Dalam dokumen Lol menyebutkan peluncuran program uji coba propinsi REDD plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai pada januari 2011, yang dilanjutkan uji coba REDD plus untuk kedua pada 2012. Mulai Januari 2011 juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh pemerintah Norwegia US$200 juta s.impai 201-1.).)