KISAH KEPITING BAKAU DARI TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT
Oleh: Munawir (Capture Fisheries Officer, WWF-Indonesia)
Kepiting bakau (Scylla sp.) adalah salah satu menu favorit pecinta seafood. Bergizi tinggi, berdaging tebal, dan gurih – tiga hal yang menjadikan kuliner satu ini begitu diminati. Kepiting bakau tercatat sebagai komoditas perikanan unggulan di Indonesia. Permintaan terhadap kuliner satu ini terus meningkat, baik di pasar domestik maupun mancanegara.
Sebagai salah satu daerah penghasil kepiting bakau di Indonesia, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat ditunjang dengan keberadaan hutan mangrove seluas ±260 ribu hektar dan mencakup 10% dari total luas hutan mangrove Indonesia (Wibowo dan Suyatno, 1998:94). Meningkatnya permintaan komoditas kepiting bakau ini memicu penangkapan yang berlebih di habitatnya.
“Dari segi jumlah kepiting yang tertangkap belakangan ini, sepertinya belum begitu berbeda dengan tahun 1996/1997, tapi jika melihat ukuran kepitingnya semakin kecil,” ungkap Suriyanto, salah satu nelayan kepiting di Teluk Bintuni yang mengikuti praktik identifikasi penangkapan kepiting Bakau di Kabupaten Teluk Bintuni, 29 – 31 Agustus 2018.
Penangkapan kepiting bakau di Teluk Bintuni, khususnya di Kampung Banjar Ausoy didominasi oleh armada nelayan kecil ukuran di bawah 10 GT (Gross Ton). Dengan menggunakan mesin tempel ukuran 15 PK (Paarden Kracht/Tenaga Kuda), nelayan kepiting bakau bisa melakukan aktivitas penangkapan sampai tiga hari berturut-turut di lokasi target, lalu kembali ke daratan atau fishing base.
Alat tangkap yang digunakan yaitu bubu, perangkap berbahan jaring yang khusus dibuat untuk menangkap kepiting. Terdapat 2 tipe bubu yang digunakan oleh nelayan Kampung Banjar Ausoy, yaitu bubu kotak dan wadong (berbentuk bulat).
Perbedaan kedua alat tangkap ini selain dari bentuknya, juga terletak dari bahan rangka yang digunakan. Untuk bubu kotak menggunakan rangka besi, sedangkan wadong menggunakan bambu yang telah ditipiskan kemudian dibentuk menjadi lingkaran. Dalam sekali melaut, nelayan Kampung Banjar Ausoy bisa membawa sampai 80 unit bubu yang nantinya disebar di lokasi penangkapan. Dalam sebulan, rata-rata nelayan melakukan aktivitas penangkapan minimal 4 kali trip, dengan jumlah hasil tangkapan ± 400 kg sampai 1 ton.
Ukuran Tangkap dan Kondisi Kepiting Bakau, Perlu Diperhatikan untuk Jaga Kelestarian
Berdasarkan informasi dari nelayan, rerata ukuran berat kepiting bakau yang tertangkap berkisar dari 200 gram sampai 800 gram per ekornya. Peraturan Menteri Kelautan Perikanan RI Nomor 56 Tahun 2016 sendiri mengatur syarat penangkapan kepiting bakau adalah tidak sedang dalam kondisi bertelur dan dengan ukuran lebar karapas di atas 15 cm atau berat di atas 200 gram per ekor (catatan: terdapat beberapa kondisi yang disesuaikan pada periode waktu tertentu; baca lengkap Permen KP RI no 56 tahun 2016).
Dengan mengacu pada peraturan tersebut, terdapat dua catatan yang menjadi rambu utama dalam praktik perikanan kepiting bakau, yaitu ukuran layak tangkap dan juga kondisi kepiting yang tertangkap khususnya jenis betina tidak dalam kondisi bertelur. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pelaku bisnis perikanan mulai dari level nelayan sampai level pengusaha/industri bagaimana mengupayakan agar praktik bisnis yang dijalankan sesuai dengan aturan dan regulasi yang berlaku.
Dari hasil identifikasi di Kampung Banjar Ausoy diketahui, rata-rata nelayan kepiting di lokasi tersebut akan melepaskan hasil tangkapannya kembali ke habitatnya jika didapatkan ukuran yang dibawah 200 gram. Hal ini senada dengan informasi dari salah satu pengepul kepiting di lokasi yang sama.
“Nelayan jarang mengambil kepiting berukuran kecil (di bawah 200 gram) selain karena mereka sudah mengetahui mengenai aturannya, pengepul juga tidak akan membeli kepiting pada ukuran tersebut,” ucap Pak Maman.
Untuk mendukung perikanan yang berkelanjutan, WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) mendorong perbaikan praktik perikanan sebagai salah satu bentuk komitmen dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Dengan adanya hasil identifikasi ini, diharapkan dapat menjadi informasi untuk penyusunan program perbaikan perikanan guna memastikan kelestarian dan keberlanjutan khususnya komoditas kepiting bakau di Kabupaten Teluk Bintuni.