KEPEDULIAN NADYA HUTAGALUNG TERHADAP KELESTARIAN ALAM
oleh Ciptanti Putri
Brain, beauty, and bold. Itulah tiga kata yang dapat menggambarkan Nadya Hutagalung, selebriti yang juga penggiat lingkungan. Meski hari-hari supporter setia WWF yang juga Global Ambassador Kampanye Earth Hour ini dipadati jadwal syuting program televisi “Asia’s Next Top Model”, wawancara dan pemotretan di berbagai media cetak, serta menjadi pembicara di konferensi-konferensi mengenai lingkungan hidup, Nadya tak pernah luput mengurus keluarganya dengan berkiblat pada gaya hidup hijau (green lifestyle). Bagi ibu tiga anak yang juga tercatat sebagai salah seorang board dari Green School di Ubud Bali ini, kepedulian terhadap kelestarian alam merupakan sumbangsih kepada generasi mendatang yang juga berhak atas bumi dan seisinya untuk mendukung kehidupan mereka kelak.
Ciptanti Putri dari WWF-Indonesia berkesempatan berbincang dengan mantan VJ MTV Asia ini di sebuah lobi hotel berbintang lima di Jakarta pada akhir tahun lalu. Nadya mencurahkan isi hatinya tentang aktivitas konservasi, karir, keluarga, serta peran penting perempuan sebagai agen perubahan di rumah.
Tanya:
Aktivitas konservasi apa yang tengah Anda jalani saat ini?
Nadya:
Saya mendedikasikan diri sebagai seorang Elephant Warrior. Kepedulian saya terhadap konservasi gajah kian menebal sejak saya berbincang dengan Tammie Matson, istri Andy Ridley (CEO dan Co-Founder Earth Hour Global). Tammie adalah seorang zoologist dan human-elephant conflict specialist. Saya mengutarakan ketertarikan saya terhadap isu gajah dan ingin mengetahui lebih banyak. Tammie bilang, kita ke Afrika saja. So saya membawa serta kru, kamera, dan produser untuk membuat film dokumenter di sana, sekitar Mei dan Juni 2013 lalu. Film itu memperlihatkan realita di Afrika. Di sana kami bertemu para penggiat konservasi dan peneliti gajah dari pelosok dunia, serta orang-orang yang berjuang dalam gerakan anti-perburuan gajah di Kenya. Waktu saya tanya mereka, ‘mengapa hal ini bisa terjadi dan siapa yang harus disalahkan?’ Jawaban mereka: Asia. Rupanya pasar terbesar produk gading gajah adalah China, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Philippina. Pemerintah di Thailand bahkan melegalkan perdagangan gading Gajah Thailand sehingga negara itu menjadi pusat jual-beli gading terbesar di dunia. Gading-gading Gajah Afrika lalu diselundupkan masuk ke Thailand, dikatakan sebagai gading Gajah Thailand. Seperti praktik pencucian uang saja.
Tanya:
Bagaimana kondisi gerakan anti-perburuan gajah di Kenya?
Nadya:
Di sana mereka tidak bisa fight. Sejak dulu ranger tidak dipersenjatai, sementara para pemburunya bersenjata. Perdagangan gading sudah melibatkan para konglomerat besar berskala nasional, sudah seperti bisnis narkoba, perdagangan manusia, atau perdagangan satwa langka. Uang mereka banyak sekali. Mereka mampu membeli helikopter, senjata api, racun, semuanya. Sekarang Pemerintah Kenya mulai mempersenjatai ranger mereka. Namun, senjata bukan solusi; malah menciptakan perang dan jatuhnya korban jiwa. Kita harus berjuang dari pasarnya, dari Asia.
Tanya:
Bagaimana caranya?
Nadya:
Saya, Tammie, dan teman-teman akan menginisiasi sebuah gerakan konservasi gajah, 'Let Elephant Be Elephant' (LEBE). Ini akan menjadi semacam kampanye regional di Asia Tenggara. Sebelumnya kami sudah mengujicobakan sebuah kampanye lokal di China dengan program edukasi publik setelah membaca sebuah studi yang menyebutkan bahwa sekitar 80% dari masyarakat di sana tidak mengetahui fakta bahwa gajah harus mati agar dapat diambil gadingnya. Hasilnya cukup memuaskan; 70% dari mereka menyatakan tidak akan membeli produk berbahan gading gajah lagi. Maka target utama kami adalah mengedukasi orang mengenai realita dari perdagangan gading gajah dan permintaan pasarnya. Tahun 2012 merupakan salah satu tahun dengan jumlah gajah mati karena diambil gadingnya yang paling tinggi. Ironisnya, di semester pertama 2013 angka tersebut sudah terlampaui. Jadi permasalahan makin serius dan perlu segera ditangani. Target lain dari gerakan ini adalah menekan perdana menteri Thailand agar melarang perdagangan gading.
Tanya:
Gading-gading ini diolah menjadi produk apa sehingga begitu berharga?
Nadya:
Perhiasan, hiasan yang ditaruh di rumah. Begitu saja, bukan untuk obat-obatan. 35.000 gajah dibunuh pada 2012 untuk hal yang bersifat ego semata. Menyedihkan bukan?
Tanya:
Dari mana datangnya kepedulian Anda yang begitu dalam terhadap lingkungan?
Nadya:
Dari ibu saya. Beliau selalu peduli tentang planet tempat kita hidup ini, serta mengajarkan cara hidup yang ramah lingkungan sejak saya kecil. Saya bertumbuh di daerah pedesaan Australia, sejak kecil saya sudah mengapresiasi alam dan memikirkan tindakan yang sepatutnya kita kerjakan dalam ranah hidup berdampingan dengan alam yang lestari. Jadi bibitnya datang dari ibu saya, berpadu dengan karakter saya yang selalu ingin tahu dan ingin mempelajari banyak hal.
Tanya:
Bagaimana Anda bisa terus melakukan aktivitas konservasi di tengah jadwal padat karir di dunia hiburan?
Nadya:
Saya sempat ragu dapat menjalankan keduanya secara bersamaan. Karena saya lebih passion ke lingkungan, saya pernah berpikir untuk meninggalkan dunia hiburan dan fokus di sini (aktivitas konservasi). Tapi saya tersadar bahwa keduanya bisa dikawinkan. Karena kalau saya tidak punya panggung, saya tidak bisa bicara. Lewat dunia hiburan, saya dapat menyebarkan pesan-pesan konservasi ke beragam kelompok audiens. Sejak awal 90-an, saya bicara di beberapa konferensi tentang green living dan lingkungan secara umum, mulai dari orangutan sampai ke gajah. Akan tetapi, saya bicara ke kelompok itu-itu saja, orang-orang yang sama di setiap konferensi. So what important now, is being able to bridge a new audience. Itu menjadi kekuatan saya sekarang karena saya memiliki pengaruh di dunia hiburan dan di kelompok masyarakat kelas atas. Buat saya yang terpenting adalah memberi kontribusi, meski hanya sedikit.
Tanya:
Bagaimana dukungan keluarga terhadap aktivitas Anda?
Nadya:
Saya dan suami sudah seperti tim yang padu. Di luar kesibukan karirnya, ia masih sering berenang dan melakukan advokasi kehidupan laut, sementara saya di darat. Kami ini green and blue.
Tanya:
Menurut Anda, bagaimana cara termudah untuk membangkitkan penerapan green lifestyle, terutama bagi masyarakat urban?
Nadya:
Terlalu abstrak untuk menjelaskan ke audiens di perkotaan mengenai problem hilangnya hutan di Borneo, kematian gajah di Afrika, atau tentang dampak memutihnya terumbu karang di dasar laut. Kita tinggal di kota, jauh dari isu-isu tersebut. Jadi kita harus berpikir dan bertanya pada diri sendiri, bagaimana caranya mengubah kondisi planet ini? Saya selalu menjawab, the power of the purse. Apalagi sebagai perempuan. Kita penguasa di urusan rumah tangga; kita yang bertugas mendidik anak-anak dan berbelanja kebutuhan sehari-hari, kita punya kekuatan untuk mengubah keputusan produsen. Kalau kita memutuskan untuk tidak membeli detergen minyak goreng, mi siap saji tertentu, mereka harus peduli dan berubah. Mereka akan memperhatikan pola belanja kita yang memilih produk-produk dari perusahaan dengan tanggung jawab sosial yang tinggi, yang berasal dari hasil panen dari petani atau nelayan yang dibeli dengan harga yang lebih baik, dengan sistem suplai yang bertanggung jawab. Produsen lain akan mengikuti jejak perusahaan tersebut. Cara sederhana lainnya adalah dengan mengurangi konsumsi daging. Dengan mengubah cara kita makan, semakin cepat kita mengubah carbon footprint. So less meat, less heat. Jika Anda tidak bisa menjadi seorang vegetarian, enggak apa-apa. Atur saja jadwalnya, semisal tidak makan daging selama dua hari seminggu, lalu meningkat tiga hari seminggu. Selain itu, makanlah produk laut yang lestari.