KEGAGALAN KOPENHAGEN DAN NASIB PETANI
Khudori
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN
Kekhawatiran Pertemuan Para Pihak Ke-15 Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009, bakal gagal akhirnya menjadi kenyataan. Proses negosiasi bernilai triliunan rupiah itu sekadar ""mencatat hasil"" (take note) 12 butir naskah Persetujuan Kopenhagen (Copenhagen Accord). Antara lain, yang terpenting, pada 2020 kenaikan suhu tak boleh lebih dari 2 derajat Celsius dan jumlah sumber dana untuk mitigasi dampak perubahan iklim buat negara berkembang memerlukan US$ 100 miliar.
Desakan agar ada target kuantitatif penurunan emisi bagi negara-negara maju yang wajib menurunkan emisi (Annex 1) gagal dicapai. Amerika Serikat sebagai emiter terbesar dan negara-negara industri kaya di Utara tetap pongah. Tak peduli prinsip ""tanggung jawab bersama yang dibedakan"" yang diadopsi Konvensi Perubahan Iklim, mereka menuntut Cina, India, Indonesia, dan negara lain ikut memikul dosa lingkungan yang mewujud dalam aneka bentuk bumi panas, iklim kacau, badai mengganas, es di kutub mencair, air laut naik, dan ribuan plasma nutfah musnah. Satu-satunya komitmen yang muncul adalah pengucuran dana, yang muaranya mudah ditebak jual-beli karbon {carbon sink). Bagi mereka, ini lebih murah.
Apa yang baru terjadi di Kopenhagen sesungguhnya repetisi dari rangkaian panjang negosiasi iklim. Kegagalan Kopenhagen sesungguhnya hanya (kembali) menegaskan satu hal konferensi multilateral semacam ini tak lebih dari ajang tipu muslihat negara maju atas negara berkembang. Salah satu yang kasatmata adalah rumusan Persetujuan Kopenhagen, yang hanya dibuat 26 dari 192 negara yang hadir. Ironisnya, ke-26 negara itu justru mengklaim mewakili kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil, dan negara tertinggal. Tidak mengherankan, kelompok negara berkembang (G-77) menyebut mereka ditelikung dan dikudeta. Mereka menyebut Kesepakatan Kopenhagen merendahkan negara miskin.
Bagi negara berkembang dan miskin, kegagalan Kopenhagen membuat mereka, mau tidak mau, menanggung dampak perubahan iklim tanpa kontribusi aktif peran negara maju. Menurut Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC (2007), kenaikan suhu 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Bangladesh 30 persen pada 2050. IPCC (2007) membuat dua skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030. Per-
tama, suhu rata-rata global naik 2-2,4 derajat Celsius. Ini dicapai dengan menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat 445-490 ppm. Kedua, kenaikan suhu rata-rata 3,2-4 derajat Celsius dengan menjaga konsentrasi GRK pada kisaran 590-710 ppm. Skenario pertama mustahil dicapai, karena tingkat GRK pada 2005 sudah 400-515 ppm.
IPCC memperkirakan kenaikan suhu hanya 2 derajat Celsius membuat produksi pertanian di Cina dan Bangladesh turun hingga 30 persen pada 2050, di India air kian langka, 100 juta warga pesisir di Asia permukimannya tergenang, dan 20 persen spesies lenyap. Bagaimana jika suhu rata-rata naik 4 derajat Celsius? Kenaikan suhu membawa dampak ikutan luar biasa, yang
tak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk bebas darinya. Produksi pangan menurun, fluktuasi dan distribusi ketersediaan air terganggu, hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan iklim akhirnya mengancam keberlanjutan kehidupan.
Masalahnya, dampak itu tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara miskin paling menderita karena rendahnya daya adaptasi dan ketergantungan hidup mereka pada sumber daya alam yang rentan terhadap perubahan iklim. Petani dan nelayan, termasuk dua pihak yang paling menderita. Perubahan iklim menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau semakin kacau, kete-
gangan konsumsi air untuk pertanian dan industri akan kian meningkat. Tanpa adaptasi, perubahan iklim akan berisiko besar. Tidak hanya produksi pangan menurun, pada saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, dan jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita bergantung pada pangan impor yang menguras devisa.
Adaptasi dan mitigasi jadi keharusan. Pertama, petani harus diyakinkan bercocok tanam perlu diubah, tak bisa lagi mengandalkan pranata mangsa. Dengan varietas, cara tanam dan sistem pengairan baru petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dan menekan kebutuhan air. Varietas Memberamo dan Way Apo Buru dengan tanam pindah atau tabur benih serta pengairan macak-macak, berselang dan terputus terbukti, efektif menekan metana dan kebutuhan air (Setyanto dan Abubakar, 2006). Badan Litbang Pertanian telah melepas berbagai varietas supergenjah hibrida maupun non-hibrida berproduktivitas tinggi dengan kebutuhan air rendah. Misalnya, jagung umur 80 hari, produktivitas 10 ton/hektare, kedelai umur 75 hari produktivitas 3 ton/hektare, ubi kayu umur 8 bulan produktivitas 40 ton/hektare, kentang produktivitas 35 ton/hektare (Irianto, 2009). Petani harus didorong untuk menanam varietas baru dan menerapkan cara-cara pengairan serta cara tanam baru.
Kedua, di wilayah-wilayah lebih kering dan cuaca lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah, seperti praktek masa lalu. Ketiga, introduksi sistem wanatani (agroforestry) atau model crops livestock system yang terbukti mampu mencegah erosi, mengembalikan kesuburan tanah, menciptakan iklim mikro buat tanaman, menekan input, meningkatkan pendapatan secara nyata, dan menyerap tenaga kerja. Keempat, menyediakan informasi iklim secara mudah. Sekolah Lapang Iklim perlu dimassalkan. Lewat sekolah ini, petani diajari membaca peta iklim, menyusun pola tanam, dan memperkirakan hasil. Kelima, membagi risiko gagal usaha dengan asuransi tanaman. Petani bisa disubsidi premi. Tanpa langkah lokal-regional ini, kegagalan Kopenhagen hanya akan memperburuk nasib petani.