JUNGKIR BALIK DI PERAHU KARET
Penulis: Terry Endropoetro (travel blogger http://negerisendiri.com/2016/web/)
Menaiki perahu karet hanya saya lihat di film-film ternyata bisa saya alami sendiri ketika ikut dengan tim penyelam di #XPDCKOON WWF-Indonesia di Seram Timur Laut. Perahu karet berukuran panjang 3 meter itu dipenuhi tabung-tabung selam, fin, dan segala peralatan penelitian. Sembilan orang yang ikut duduk di bibir perahu, dengan kaki-kaki yang menyembil di antara peralatan selam.
Ternyata ilmu bisa didapat di mana saja, dan kapan saja. Saat Taufik Abdillah dan Veronica Louhenapessy (WWF-Indonesia), La Ode Sahari (TN Wakatobi), Hedra Akhrari (Yayasan Terangi), Kopral Muklis Said Cokro (TNI AL Ambon), dan Sulaiman Siomlimbona (Dinas Kelautan & Perikanan Seram Bagian Timur) satu per satu mulai meninggalkan perahu, hanya tinggal saya, Daniel Dirga (WWF-Indonesia) yang bertugas menentukan titik koordinat penyelaman, dan Pak Ode yang terus saja memegang kemudi dan mengatur laju perahu. Dirga menunjukkan cara mengukur arus permukaan menggunakan botol air kemasan yang hanya terisi setengah. Ujung botol diikat dengan benang kasur sepanjang 2 meter, kemudian dilempar ke laut. Penghitungan dimulai saat botol dilempar ke laut terbawa arus dan saat tali menegang penghitungan dihentikan.
Dari situ dapat diketahui seberapa kecepatan arus permukaan, ada tiga kategori, yaitu lemah atau tenang (0-15), sedang (15-30), dan kuat (30-50). Dari tiga kali lemparan, angka yang didapat sekitar 10 detik. Jadi kalau dihitung cepat, sentimeter per detik, maka 2 meter tali dalam perhitungan 10 detik. Artinya menghasilkan angka 20. Berarti arus permukaannya dikategorikan sedang. Walau cara ini sudah jarang dipakai, karena dianggap tidak akurat, apalagi setelah adanya current meter alat penghitung arus yang lebih modern. Tapi, cara sederhana ini cukup praktis dilakukan siapa saja sebelum ber-snorkeling di suatu tempat.
Saya dan Dirga pun memutuskan untuk terjun ke laut, ber-snorkeling menyusuri pinggiran pantai hingga mendekati tubir. Sayang, yang kami temukan di dasar adalah hamparan pecahan karang, yang tampaknya hancur karena badai atau hantaman ombak keras. Akhirnya saya memutuskan untuk naik kembali ke atas perahu. Dan naik ke atas perahu karet bukanlah hal yang mudah. Tak ada tangga untuk menaiki perahu dengan pinggiran licin dan bulat. Walau sebenarnya ada pijakan karet di belakang perahu, namun karena mesin perahu terus dinyalakan ditakutkan malah berbahaya.
“Terus ayunkan fin kuat-kuat, sambil angkat badan ke atas. Lalu putar pinggang.” Dirga memberi instruksi cara untuk naik ke atas perahu. Sementara panjang lengan saya pun tak cukup memeluk bibir perahu, ditambah lengan dan baju yang basah. Percobaan pertama gagal, terangkat dari permukaan air pun tidak, badan saya melorot lagi ke dalam air. Percobaan kedua dilakukan, mengayunkan fin sekuat tenaga saya hentakkan badan ke atas. Berhasiiil! Tapi badan saya menyangkut, menggantung dengan kedua kaki masih berada di dalam air. Dirga menarik lengan saya sambil memberi aba-aba, “Satu dua tiga!”, Pak Ode pun ikut membantu mengangkat badan saya.
Dengan sekali tarikan, badan saya menyangkut langsung meluncur ke dalam perahu. ‘Pendaratan’ pun berjalan mulus. Kepala dan bahu menyentuh lantai disusul badan yang terguling kemudian. Sebenarnya sungguh pemandangan yang tidak indah ha… ha… ha… ha… tapi kalau tidak begitu, bukan pengalaman namanya.