JALAN PANJANG RAIH FULUS
Konsep REDD menarik perhatian banyak peserta. Konferensi Kopenhagen masih membahas perincian
pengaturan.
KOPENHAGEN - Hampir 50 orang berdiri dan duduk di lantai ruang sidang Lava Weel, Bella Center, Kopenhagen. Mereka tidak kebagian tempat duduk di ruang yang memiliki 160 kursi. Mereka adalah peserta seminar yang diadakan pemerintah Indonesia di arena Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Acara bertajuk ""REDD in Indonesia Toward Joint National and International Actions""ini diadakan pada Jumat pekan lalu.
Seusai acara, Wandojo Siswanto, staf ahli Menteri Kehutanan, serta Nur Masripatin, Kepala Badan Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan dan Kebijakan, mendapat ucapan selamat. ""Selamat, jualan Indonesia laku,"" ujar salah seorang peserta kepada dua pejabat teras Departemen Kehutanan yang mempresentasikan rancangan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) kepada peserta dari berbagai negara dan lembaga internasional.
Untuk merancang dan uji coba REDD di berbagai daerah, pemerintah mendapat bantuan dari sejumlah lembaga. Di Kalimantan, misalnya, dilakukan oleh pemerintah Australia, Jerman, WWF-Indonesia, dan The Nature Conservancy. Pada seminar di Kopenhagen, masing-masing lembaga memaparkan pengalaman dan komitmennya kepada peserta.
Lakunya ""barang dagangan"" Indonesia juga diiringi kesepakatan dalam sesi sidang pleno Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) di Konferensi Kopenhagen, Sabtu lalu. Salah satu dokumen SBSTA tentang REDD masuk sebagai keputusan Pertemuan Para Pihak (COP) ke-15. ""Namun, untuk melaksanakannya, butuh peningkatan kapasitas dari negara berkembang,"" kata Ketua SBSTA Helen Plume sebelum mengakhiri sidang.
REDD itu sendiri sudah dibahas intensif semenjak Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim atau COP ke-13 di Bali pada 2007. Salah satu rekomendasi Konferensi Bali adalah membuat definisi, metodologi, dan aspek lain agar REDD layak didukung oleh skema pendanaan baru untuk mitigasi atau mengurangi gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Konferensi di Kopenhagen ini jadi menentukan karena akan memutuskan apakah REDD layak didukung oleh skema pendanaan baru atau tidak. Karena itu, Indonesia, Brasil, dan sejumlah negara di Afrika, yang memiliki hutan luas, sangat berkepentingan. Maklum, sepertinya bakal banyak dana yang dikucurkan negara-negara maju dan dunia usaha untuk program ini.
Namun, karena urusan duit, sejumlah negara berkembang, yang hutannya tinggal sedikit, juga menuntut bagian. Inilah yang menyebabkan pembicaraan berlarut-larut selama COP di Bali, Polandia (2008), dan kini di Kopenhagen. Cina dan Afrika Selatan, misalnya, menuntut dana untuk menghutankan kembali lahannya yang gundul. Begitu juga India. Ada lagi negara yang memasukkan taman nasionalnya dalam program REDD. Tuntutan lain datang dari negara yang memiliki hutan kecil, seperti Guyana.
""Lolosnya dokumen di SBSTA bisa diartikan sebagai kemajuan pertama,"" ujar Fitrian Ardiyansah, Direktur Program Energi dan Perubahan Iklim WWF-Indonesia. Maklum, negosiasi yang bakal alot akan terjadi pada sesi AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Longterm Cooperative Action under the Convention). Pada sesi ini akan disepakati tentang pendekatan kebijakan dan insentif positif dari REDD. Sidang-sidang LCA akan semakin intensif dengan kehadiran para menteri mulai awal pekan ini.
Di sisi lain, masuknya dokumen REDD itu bakal menambah dukungan bagi kegiatan-kegiatan yang mencoba menerapkan IPCC guidance dalam mendesain sistem MRV [measurement, report, and verification). Negara-negara maju memang ngotot dananya tidak disalahgunakan oleh negara-negara berkembang. Karena itu, mereka berkukuh pedoman yang dibuat IPCC (lembaga panel para ahli) harus diterapkan.
Berdasarkan uji coba di lapangan, kata Nur Masripatin, Indonesia sudah siap dengan metodologi MRV. ""Kami sesuaikan dengan standar IPCC,"" katanya. Wandojo menjelaskan, uji coba ini akan menyumbang bagi komunitas internasional untuk menerapkan mekanisme REDD. ""Karena hutan menjadi pusat untuk menghadapi perubahan iklim.""
Kemarin, Indonesia juga menyajikan REDD pada acara ""Forest Day"" di Kopenhagen, yang diadakan CIFOR, Collaborative Partnership on Forests (CPF), dan pemerintah Denmark. Perdana Menteri Denmark, Ketua IPCC, Lord Stern, serta sejumlah pembicara terkenal lainnya hadir dalam acara ini. ""Bagi kami, REDD merupakan perjalanan panjang,"" kata Agus Pumomo, Kepala Sekretariat Nasional Dewan Nasional Perubahan Iklim. Indonesia, ujar dia, siap menerima masukan dari negara lain.