SATELIT PENGINDRA EMISI DAN POLITISASI ISU IKLIM
Oleh Muhammad Evri
Perekayasa BPPT
SIAPA yang dituding di saat perubahan iklim itu sudah dirasakan tubuh manusia? Kerap kali negara-negara dengan aktivitas industri yang tinggi mengarahkan tudingan tersebut langsung ke negara berkembang, manakala mereka gagal mencapai kesepakatan target penurunan emisi karbon. Hal itu tidak terkecuali ditujukan ke Indonesia yang notabene mempunyai banyak potensi hutan dan layak untuk dibidik terkait dengan perubahan-perubahan perilaku iklim dan lingkungan global saat ini.
Secara tak langsung mereka telah menerapkan standar ganda, yakni di satu sisi peduli terhadap penyelamatan alam lingkungan dan di sisi lainnya secara masif menjadi penyumbang emisi terbesar. Padahal dari sepuluh negara penyumbang emisi terbesar di dunia, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Tudingan itu tak lepas dari kecurigaan mereka pada kondisi hutan Indonesia yang diduga berkontribusi signifikan terhadap pelepasan karbon ke atmosfer. Bahkan negara industri menempatkan Indonesia sebagai emiter ketiga terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat. Sangat tidak masuk akal, negara pemilik hutan hujan tropis dan penyumbang oksigen bagi bumi dituduh sembarangan sebagai penyumbang emisi karbon. Bagaimana seharusnya strategi Indonesia merespons tudingan itu sekaligus menghadang kecurigaan tersebut dengan bukti kuantitatif?
Sejak peluncuran satelit Gosat (Greenhouse Gases Observing Satellite) yang khusus untuk memonitor distribusi konsentrasi gas rumah kaca pada 23 Januari 2009, Indonesia telah terlibat dan berkontribusi dalam kajian bersama dengan tim Gosat Jepang sampai saat ini.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun telah menginisiasi metode multistage carbon sensing untuk memonitoring konsentrasi gas rumah kaca, baik langsung di lapangan maupun di atmosfer, bermitra de-ngan tim Gosat Jepang.
Dalam menjejak karbon di darat dilakukan untuk mengetahui karbon yang terdeposit di dalam tanah, pada vegetasi hidup/mati, dan dalam bentuk dalam bentuk flux dengan metode allometric, chamber system, eddy covariance, dan Iain-Iain. Menjejak konsentrasi gas rumah kaca di udara pada layer tengah atmosfer dilakukan dengan sensor dropsonde. Menjejak G-protein coupled receptor kinase di outerspace dilakukan dengan satelit Gosat. Integrasi penjejakan gas rumah kaca dari tiga sumber data itu diarahkan untuk memprediksi distribusi gas rumah kaca seperti CO2 di atmosfer yang bersumber dari berbagai pengemisi di darat.
Distribusi global CO2 Terkait dengan konsentrasi global CO2, hasildan model simulasi transport atmosferis yang diaplikasikan terlihat densitas distribusi global CO2 cukup tinggi di belahan bumi utara pada sekitar Januari 2009, yang meliputi negara-negara industri di Asia (seperti China, Jepang, dan Korea), Rusia dan negara-negara Eropa. Kondisi densitas tersebut cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Seperti diketahui bahwa di kawasan belahan bumi utara, kondisi wilayah bervegetasi (hutan) cukup minim, tidak seluas dengan apa yang ada di wilayah tropis.
Analisis lanjutan mengindikasikan kawasan Pulau Kalimantan mempunyai nilai densitas distribusi global CO2 yang relatif rendah jika dibandingkan dengan beberapa kawasan Asia dan Eropa yang telah disebutkan. Pada Agustus lazimnya di belahan bumi utara dinamika
diagnosis yang dilakukan BPPT bersama dengan tim Gosat Jepang menunjukkan konsentrasi global CO2 rendah pada pada belahan bumi utara, yang terjadi sekitar periode 1 Agustus sampai 29 Oktober 2009. Hal ini sangat erat berhubungan dengan proses fotosintesis vegetasi yang berlangsung aktif selama periode tersebut. Kemudian, bila diselisik lebih jauh, dari model simulasi distribusi fluks CO2 bersihdistribusi CO2 rendah karena proses fotosintesis vegetasi berlangsung aktif selama periode tersebut (summer time).
Tampak seluruh kawasan Indonesia menunjukkan densitas distribusi CO2 yang rendah. Itu terjadi akibat pengaruh dari distribusi CO2 global dan hutan Indonesia masih dalam kondisi baik hingga proses fotosintesis terjadi setiap saat. Analisis itu menunjukkan kondisidistribusi gas rumah kaca, khususnya CO2 di atas atmosfer Indonesia, secara kuantitatif tidaklah sedahsyat apa yang ditudingkan silama ini. Malahan tudingan tersebut memang patut diarahkan kepada negara-negara pengemisi terbesar yang berada di belahan bumi utara, yang notabene penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi cukup tinggi.
Sajian data itu mempunyai potensi bos.ir untuk dijadikan sebagai bahan argumentasi kita pada berbagai forum internasional yang terkait dengan isu emisi karbon. Mekanisme perdagangan karbon melalui sistem reduction emission from deforestation and degradation (REDD) bukanlah perkara mudah. Pasalnya perjalanan yang harus ditempuh masih panjang, dalam konteks dagang karbon. Banyak sekali proses dan simpul administratif di tengah jalan harus dilewati yang akan memakan waktu bertahun-tahun.
Tidak tergantung donor
Dalam konteks ini, Indonesia harus bertindak cerdas dan strategis menyikapi hiruk pikuk REDD. Indonesia harus berani mengatakan tidak terhadap deal-deal yang bertujuan menyubstitusi karbon Indonesia dengan hibah berbentuk apa pun dari pendonor. Pola pikir kita harus diubah bahwa dengan ada dan tidak ada dana dari donor, Indonesia harus berbuat yang terbaik dengan hutan dan alam kita. Dengan modal alam yang baik, pemerintah bisa meraih dimensi keadilan bagi rakyat, dengan menyisakan harta yang sangat bernilai untuk fungsi konservasi, bank plasma nuftah, sumber energi, lumbung bahan dasar obat, penyedia nutrisi, dan iumbung energi dengan pengelolaan yang proporsional. Hal itu sangat penting agar Indonesia mempunyai posisi tawar yang tinggi dengan negara-negara lain. Bilamana semua hal itu mampu kita implementasikan, kesediaan Indonesia menurunkan emisi sebesar 26% bukanlah sesuatu yang menyebabkan gegar budaya sehingga isu iklim menjadikan posisi Indonesia lebih kuat dan terhormat.