INDONESIA MEMBUTUHKAN PERATURAN PERUNDANGAN KONSERVASI YANG LEBIH KOMPREHENSIF
Siaran Pers Bersama Dewan Kehutanan Nasional
25 Juni 2010
Jakarta (25/06): Berangkat dari kondisi aktual selama 20 tahun terakhir yang menunjukkan meningkatnya ancaman kelestarian jenis dan habitatnya, mengemukanya paradigma sosio-antroposentris serta peluang kerja sama multi pihak baik internasional maupun nasional dalam upaya-upaya konservasi, maka Dewan Kehutanan Nasional (DKN) mendorong lahirnya peraturan perundangan konservasi yang lebih komprehensif melalui inisiatif kajian kebijakan konservasi.
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN) terhadap peraturan perundang-undangan khususnya di tingkat peraturan pemerintah (PP) dan penyelenggaraan pengelolaan konservasi baik untuk tingkat jenis maupun kawasan, teridentifikasi adanya beberapa isu strategis yang perlu mendapat perhatian bersama dalam penyelenggaraan konservasi. Isu-isu strategis tersebut juga diidentifikasi sebagai masalah pokok dari sisi regulasi yang menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi menjadi kurang efektif.
Pada tingkat ekosistem (kawasan), isu penting tersebut diantaranya adalah masih minimnya perlindungan terhadap hak masyarakat yang telah ada sebelum ditetapkannya suatu kawasan konservasi dan terbatasnya akses masyarakat. Pada tingkat jenis, isu utama adalah kecenderungan meningkatnya ancaman terhadap kelestarian jenis. Perlu ada kepastian perlindungan melalui pembaruan daftar jenis dilindungi dan ketentuan pengelolaannya, yang juga mencakup jenis-jenis yang saat ini tidak masuk dalam daftar, seperti perkembangan bahwa orangutan Sumatera merupakan spesies tersendiri. Persoalan penting lainnya adalah terjadinya proses fragmentasi habitat jenis dilindungi --seperti orangutan, harimau, badak, gajah-- baik di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi antara lain akibat pembangunan jalan, kebun, tambang, pemukiman. Isu strategis lainnya adalah minimnya representasi daerah dataran rendah yang kaya keanekaragaman hayati di dalam sistem kawasan konservasi yang sudah ada.
“Isu terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi di lapangan tidak hanya disebabkan oleh lemahnya regulasi atau kebijakan, masih rendahnya efektivitas manajemen kawasan konservasi, akan tetapi juga dipicu oleh faktor eksternal seperti perkembangan dan dinamika politik, sosial, ekonomi dan budaya. Namun beberapa masalah sosial dan ekonomi dapat bersumber dari masalah regulasi”, ungkap I Made Subadia Gelgel, Ketua Tim Adhoc Kajian Kebijakan DKN.
Selanjutnya Harry Alexander, anggota Tim Adhoc DKN yang berasal dari Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, ”Penegakan hukum di lapangan bagi jenis-jenis yang dilindungipun juga belum bisa efektif, baik kepemilikan ataupun perdagangan ilegal atas jenis dilindungi seperti orangutan dan juga terhadap pengrusakan habitat dari jenis dilindungi tersebut. Sementara itu, tidak adanya sanksi bagi pemanfaatan yang tidak lestari untuk jenis-jenis tidak dilindungi, maka banyak dari jenis-jenis tersebut yang beberapa tahun yang lalu masih melimpah, sekarang sudah dalam keadaan terancam punah. Kasus penyelundupan trenggiling 13,8 ton yang ditangkap di Palembang pada tahun 2009 yang melibatkan 3 orang WNA dan saat ini sedang dalam proses hukum, merupakan bukti nyata dan fakta konkrit seriusnya persoalan ini dengan adanya kejahatan terorganisir terhadap satwa liar.”
Hasil kajian juga menyimpulkan bahwa peraturan pemerintah yang terkait pengelolaan kawasan konservasi hanya mengatur pengelolaan kawasan-kawasan yang secara hukum telah ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan belum mengatur kegiatan konservasi di kawasan lain di luar kawasan konservasi yang pada kenyataannya merupakan habitat kritis bagi satwa-satwa yang terancam punah, seperti wilayah penyangga, koridor satwa, serta di wilayah yang telah dibebani ijin (HPH, HTI, perkebunan, dan lainnya).
“Walaupun dalam undang-undang konservasi mengindikasikan pentingnya pengelolaan daerah penyangga (buffer zone) yang berada di luar kawasan konservasi, pengaturannya yang belum jelas saat ini menyebabkan banyak populasi satwa terancam punah menjadi lebih terancam lagi. Kesenjangan kebijakan ini mengancam perlindungan satwa terancam punah karena habitat kritis benteng terakhir mereka tidak mendapatkan perlindungan yang memadai secara hukum. Konflik satwa dan manusia seperti gajah dan harimau di Sumatera adalah akibat dari hilangnya habitat; hal yang sama juga menyebabkan kritisnya orangutan Sumatra” ungkap Samedi, anggota tim adhoc DKN.
Berdasarkan telaah atas isu penting di atas serta memperhatikan berbagai perkembangan perjanjian kerjasama konservasi internasional, DKN memandang sudah saatnya dilakukan upaya percepatan revitalisasi kebijakan bidang konservasi. Percepatan revitalisasi ini diharapkan akan mampu menjamin terselenggaranya konservasi jenis/genetik serta ekosistemnya secara lebih efektif, terjaminnya kepastian hukum, kepastian usaha dan hak-hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Revitalisasi ini juga dalam rangka mengembangkan kebijakan konservasi nasional yang sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia.
“DKN dan mitra terkait membantu dengan melakukan kajian dan telah menghasilkan rancangan revisi yang terkait konservasi kawasan yaitu PP 7/1999 dan PP 8/1999 serta terkait konservasi jenis yaitu PP 18/1994 dan PP 68/1998. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan pembaruan kebijakan konservasi khususnya konservasi kawasan (ekosistem), konservasi jenis/spesies dan konservasi genetik yang terukur. Pembaruan yang dilakukan haruslah terintegrasi, dengan dukungan berbagai sektor dan instansi (pusat dan daerah), masyarakat sipil, LSM, dan akademisi,” ungkap Hadi S. Pasaribu, Ketua Presidium DKN. “Pembaruan ini juga dalam rangka mensinergiskan komitmen Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dengan berbagai perjanjian kerjasama konservasi internasional seperti CITES, CBD, Ramsar dan juga terkait perubahan iklim.”
Perkembangan terkini dari hasil kajian yang telah dilakukan adalah telah ditetapkan perubahan PP 18/1994 menjadi PP 36/2010, PP 68/1998 sedang dalam proses pembahasan dengan Sekretariat Negara, dan PP 7/1999 dan PP 8/1999 dalam tahap pencermatan lebih lanjut di Kementerian Kehutanan. Lebih lanjut, DKN kini tengah melakukan pendalaman kajian untuk pembaruan UU 5/90 dengan telaah terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lainnya serta konvensi internasional.
Kontak Media:
- Didid Sulastiyo (DKN): Mobile: 0817 541 8082, Email:deeded_5319@yahoo.com
- Mika Maharani (OCSP): Mobile: 0813 6067 7055, Email: mika_gynecologia@dai.com
Narasumber:
- Dr. Hadi S. Pasaribu, M.Sc. Ketua Presidium DKN. (021) 573 0205
- Ir. I Made Subadia Gelgel, M.Sc. Ketua Tim Adhoc Kajian Kebijakan. (021) 573 0202
- Dr. Ir. Samedi, M.Sc. Anggota Tim Adhoc Kajian Kebijakan. 0812 810 6804
Catatan untuk Redaksi:
- Dewan Kehutanan Nasional (DKN) adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasar UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melalui Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) IV Tahun 2006. DKN memiliki fungsi untuk membentuk dan/atau mengevaluasi kebijakan kehutanan dengan pihak lain, melakukan mediasi pelaksanaan pembangunan kehutanan dan penyediaan informasi kehutanan bagi masyarakat luas.
- Tim Ad Hoc Kajian Kebijakan Konservasi-DKN adalah tim kerja yang anggotanya berasal dari perwakilan kamar yang ada di DKN, yaitu kamar pemerintah, kamar bisnis, kamar LSM, kamar masyarakat adat dan kamar akademisi. Tim Ad hoc diberikan mandat untuk membuat rumusan revisi kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang dititikberatkan kepada perubahan peraturan perundangan di bawah UU 5/90, yaitu PP 7/1999, PP 8/1999, PP 18/1994 dan PP 68/1998 dan juga materi perubahan UU 5/90. Di dalam pelaksanaannya Tim Ad hoc tahap I telah selesai melakukan kajian revisi keempat PP di atas dan mengawal proses sinkronisasi di tingkat Kementerian Kehutanan dan Sekretariat Negara.
- Pelaksanaan kajian kebijakan konservasi DKN diantaranya didukung oleh Orangutan Conservation Services Program (OCSP) dan WWF-Indonesia Program.
- PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
- PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
- PP 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam
- PP 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
- UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.