IDENTIFIKASI HABITAT PENTING DUKUNG PENGELOLAAN HIU DI ADONARA DAN TN WAKATOBI
Ranny Ramadhani Yuneni (Shark & Rays Bycatch Officer, WWF-Indonesia)
Terkait dengan program perlindungan spesies laut, saat ini WWF-Indonesia sedang fokus melakukan penelitian di beberapa perairan Indonesia yang disinyalir sebagai lokasi ditemukannya hiu. Pada bulan Oktober-November 2015, WWF-Indonesia bersama mitra kerjanya, telah melakukan survei di dua lokasi penyelaman yang memiliki perbedaan karakteristik, yaitu perairan di sekitar Dusun Mekko, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur; dan Taman Nasional (TN) Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Dusun Meko yang terletak di Desa Pledo, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, merupakan salah satu lokasi habitat penting hiu yang didorong dalam Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Flores Timur. Sebelumnya, pada Januari 2015 lalu, WWF-Indonesia telah dilakukan pemetaan awal di perairan ini terkait lokasi beberapa jenis hiu yang tertangkap secara tidak sengaja (tangkapan sampingan/bycatch). Pemetaan tersebut difokuskan pada informasi yang diperoleh dari nelayan setempat yang memiliki pengalaman lebih dari 5-10 tahun. Terdapat sekitar lebih dari 60% nelayan yang menyatakan bahwa selama kurun waktu lima tahun, hasil tangkapan hiu di perairan utara Meko lebih menurun. Hasil pemetaan awal inilah yang menjadi acuan dalam penentuan titik-titik yang menjadi lokasi penyelaman survei ekologi hiu kali ini.
Survei hiu di Perairan Mekko ini merupakan kerja sama WWF-Indonesia dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Flores Timur, dan didukung juga oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor. Setidaknya, tim melakukan pengambilan data di lebih dari 19.189 km panjang area. Berjumpa dengan hiu di perairan Dusun Mekko bukanlah hal yang jarang. Setidaknya tercatat sebanyak 14 individu ditemukan dalam satu kali penyelaman di zona hotspot. Estimasi ukuran hiu yang ditemukan sekitar 80 -110 cm untuk jenis Hiu Sirip Hitam (Carcharhinus limbatus), dan 100-120 cm untuk jenis Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus). Namun walaupun begitu, lokasi ini masih disinyalir sebagai wilayah aktivitas penangkapan hiu target ataupun tangkapan sampingan.
Berbeda dengan perairan Mekko yang lebih banyak flat dan sedikit slope, kontur perairan TN Wakatobi lebih banyak wall dan slope. Hiu lebih banyak ditemukan dalam lekukan-lekukan gua karang dan banyak melintas di dasar perairan yang lebih dalam dari tim penyelam lakukan survei. Terdapat perbedaan cluster jenis hiu di perairan ini, yang mana lokasi seperti di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, dan Tomia, lebih banyak ditemukan jenis Hiu Sirip Hitam; sedangkan lokasi penyelaman yang berada di sebelah timur seperti Kentiolo, Ndaa, dan Cowo-Cowo lebih banyak ditemukan Hiu Sirip Putih.
Masih diketahui bahwa terdapat ancaman tangkapan sampingan hiu di perairan TN Wakatobi, karena disinyalir sekitar 86% nelayan di Wakatobi belum mengetahui peraturan terkait pelarangan penangkapan hiu, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, di lokasi ini.
Survei hiu di TN Wakatobi yang dilakukan bersama Balai TN Wakatobi dan operator selam setempat ini, difokuskan pada 24 titik selam. Menurut data WWF-Indonesia tahun 2014, titik-titik selam tersebut disinyalir sebagai lokasi sering ditemukannya hiu. Selama melakukan survei ini, tim menemukan sekitar 17 individu Hiu Sirip Hitam, serta empat individu Hiu Sirip Putih dengan estimasi ukuran dapat mencapai 150 cm. Estimasi ukuran badan ini menandakan bahwa hiu tersebut sudah berhitung dewasa. Jika sudah berumur dewasa, ukuran badan satu individu hiu – baik jantan maupun betina – dapat mencapai 105-120 cm.
Hasil-hasil survei hiu di perairan Meko dan TN Wakatobi ini akan dimanfaatkan untuk mendukung upaya pengelolaan hiu yang berkelanjutan di kedua perairan tersebut. Lokasi-lokasi yang telah teridentifikasi sebagai lokasi hiu, akan diajukan sebagai kawasan perlindungan hiu, yang mana upaya pengelolaannya dapat dilakukan secara sinergis dengan zona pemanfaatan perikanan di masing-masing lokasi.
Pengelolaan tersebut juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Dengan adanya hiu sebagai predator puncak, akan menyeimbangkan ekosistem sehingga dapat terjaga untuk sekarang dan masa yang akan datang. Dengan terjaganya ekosistem inilah, masyarakat dapat memanfaatkannya untuk pengembangan wisata bahari di lokasi masing-masing, yang tentunya juga harus diperhatikan terkait kode etik penyelaman hiu. Kode etik itu seperti tetap menjaga jarak aman ketika interaksi dengan hiu, tidak menyentuh hiu, dan tidak memberi makan kepada hiu. Hal ini akan tetap menjaga hiu dari perubahan tingkah laku (habituasi) dan tetap berenang bebas dan aman di habitat alamnya.