HOB RUMUSKAN PANDUAN PRAKTIK PENAMBANGAN BERKELANJUTAN
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Surabaya (05/03)-Industri pertambangan kerap membuat kerusakan lingkungan. Dari mulai hilangnya kawasan hutan hingga menyebab pencemaran. Walaupun pemerintah telah memberlakukan peraturan reklamasi dan penutupan tambang bagi para Kuasa Pertambangan (KP), nyatanya upaya ini pun belum juga mampu meredam problematika lingkungan yang diakibatkan eksplorasi pertambangan. Kondisi ini mendorong inisiatif Heart of Borneo (HoB) merumuskan panduan “good mining practice.”
“Saat ini HoB tengah membahas mengenai good mining practice bersama dengan kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kami coba memetakan perusahan-perusahaan tambang maupun BUMN yang ada di kawasan HoB. Bagaimana nantinya prinsip-prinsip sustainable development kami sosialisasikan pada mereka. Selain itu, kami juga mendapat input dari Indonesian Mining Association dan Forum Reklamasi Tambang. Semuanya sedang kami kaji,” jelas Ketua Kelompok Kerja Nasional Heart of Borneo (HoB) Andi Novianto saat berdiskusi dengan para wartawan dalam workshop media “reformasi sektor” yang diselenggarakan oleh program Global Forest and Trade Network (GFTN) WWF-Indonesia, Selasa (02/03) di Hotel Somerset, Surabaya.
Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar-pakar dari Kementrian ESDM maupun Asosiasi Pertambangan Indonesia, konsep “merusak sementara” disebut sebagai salah satu solusi yang mampu mengurangi dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Merusak sementara berarti tidak merusak lahan secara total yaitu dengan melakukan merehablitasi dan mereklamasi kawasan yang dikeruk selama kegiatan pertambangan berlangsung. Reklamasi kawasan ini juga diakui Andi akan menjadi unsur penting yang akan diatur dalam pedoman good mining practice yang sedang disiapkan kelompok kerjanya.
Reklamasi memang sudah tercantum dalam Permen nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Peraturan mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi KP yang mangkir pun juga sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang menyebutkan bahwa pengusaha tambang yang tidak melakukan reklamasi dapat dikenakan sanksi pidana 10 tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10 miliar. Namun kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Toh masih saja banyak terdapat penguasaha tambang yang enggan melakukan reklamasi lahan. Belum lagi praktik penambangan ilegal yang kerap kali terjadi di lahan yang direklamasi.
“Illegal mining sulit dikontrol. Ironisnya ini justru terjadi di lahan-lahan yang sedang direklamasi. Inilah yang dikeluhkan oleh Asosiasi Pertambangan Idonesia. Oleh karena itu, sebuah mekanisme pengawasan yang baik terhadap upaya reklamasi kawasan juga perlu mendapat porsi khusus dalam rumusan pedoman good mining practice,” jelas Andi.
Ditambahkan Andi, reklamasi suatu kawasan eks tambang tidak mungkin dikembalikan seratus persen sama dengan kondisi semula. Oleh karena itu, sistem tanam dalam bisa menjadi solusi yang patut dipertimbangkan. Para perusahaan tambang bisa dialihkan untuk tidak melakukan open mining yang dapat memperparah kerusakan lingkungan. Walaupun cost yang harus dikeluarkan bisa empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan tambang terbuka, sistem tanam dalam perlu menjadi pertimbangan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan.