HARI KE-5 : EMERGENCY STOP DI KALABAHI!
Walau dengan jangkar dan baling-baling rusak, kami masih sempat menyelam di dua lokasi sebelum kembali ke tempat aman di Pelabuhan Kalabahi di Alor. Arus di seputar Alor memang istimewa menyulitkan bagi tim penyelam dalam melakukan pengambilan data. Tapi kami berhasil mencapai Kalabahi titik awal perjalanan kami, tujuannya untuk perbaikan kapal seperlunya. Ternyata kerusakannya cukup parah. Jangkar bengkok dan tidak bisa dipakai lagi, sementara baling-baling patah satu bilahnya dan dua lagi retak. Semuanya kami kirim ke panda besi untuk diperbaiki.
Saat malam tiba, kejadian buruk lain terjadi, yaitu koki kami, Pak Salim, jatuh sakit. Tiba-tiba, sekembalinya dari ATM untuk mengambil uang, ia mengeluhkan lengan kanan dan kaki kiri terasa kebas. Satu jam kemudian, ia tidak bisa mengangkat tangan kanan dan kakinya, dan mulai sulit berbicara. Kami langsung membawanya ke UGD terdekat. Dokter mengatakan mungkin ia terkena stroke ringan, dan dokter akan melakukan observasi selama 24 jam penuh.
Keadaan memaksa kami berhenti beberapa hari setelah 6 hari penuh berlayar, kami merasa lega karena bisa beristirahat sejenak dari melakukan survey, dan ada lebih banyak waktu untuk memasukkan data. Sebagian tim menemani Pak Salim di rumah sakit, saya memilih memanfaatkan waktu untuk berkomunikasi dengan tim di Jakarta dan Kupang untuk evakuasi Pak Salim kembali ke Kendari. Dokter mengatakan, Pak Salim mengalami stroke ringan dan tekanan darah tinggi. Kondisinya sudah membaik dan mulai bisa menggerakkan tangan dan kaki. Ia juga sudah bisa keluar dari UGD dan menempati kamar perawatan biasa.
Hari berikutnya, tim memanfaatkan waktu istirahat untuk jalan-jalan ke Pantai Sabanjar, sebuah lokasi wisata pantai yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Alor. Pak Mus, salah satu anggota ekspedisi yang berasal dari Alor, adalah penanggung jawab kawasan pantai tersebut. Pantainya indah, pemandangannya seperti dalam kartu pos, dengan laut bening seperti kolam renang dan perbukitan hijau Alor dan Pantar sebagai latar belakang. Sayang sekali promosi tidak banyak dilakukan, sehingga pantai ini sepi pengunjung dan terbengkalai. Setelah puas bermain di pantai, kami berkunjung ke pengrajin songket, beli kain untuk oleh-oleh.
Saat kembali ke Menami, berita buruk lain berdatangan. Surat-surat Menami ada kesalahan, sehingga kami tidak mendapat ijin berlayar. Untungnya Tutus berhasil mengatasi masalah ini keesokan harinya.
Suku cadang yang kami pesan dari Jakarta, ‘tersangkut’ di Kupang, sehingga kami harus menunggu satu hari lagi. Untungnya jangkar dan baling-baling yang diperbaiki sudah selesai, sehingga hari Sabtu pagi kami bisa berlayar kembali meninggalkan Kalabahi.
Pak Salim
Akhirnya, kami harus melambaikan tangan kepada koki kami, Pak Salim. Ia tidak mungkin melanjutkan perjalanan, harus terbang ke Kupang, untuk kemudian terbang ke Kendari lewat Denpasar, dan melanjutkan pengobatan di Kendari dengan ditemani keluarga dekat.
Pak Salim memang berasal dari Kendari, namun ia bekerja di Wakatobi. Ia memulai karirnya di dunia konservasi sebagai seorang kader Operation Wallacea, juga bekerja sebagai juru masak di Pulau Hoga. Kemudian ia bergabung dengan WWF sebagai koki kepala di Menami.