G-20 DAN KETELADANAN INDONESIA
Langkah Pemerintah Indonesia dalam meminimalkan dampak pengurangan subsidi BBM melalui program bantuan langsung tunai kepada masyarakat miskin mendapat pujian dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obaina. Respons positif Ohama ini disampaikan ketika menanggapi pidato Presiden Susilo BamhangYudhuyono(SBVpada KTT G-20.
Obama memperkirakan, apabila negara-negara berkembang mengikuti langkah yang dilakukan Indonesia, hal itu akan mengurangi emisi karbon yang berasal dari energi fosil hingga 12%. Dalam KTT tersebut, Presiden SBY menyampaikan presentasi mengenai upaya Indonesia dalam memangkas subsidi BBM.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berusaha agar tekanan yang berasal dari kenaikan harga minyak dunia dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat. Langkah-langkah seperti penghematan belanja pemerintah, kenaikan penerimaan pajak, usaha efisiensi PLN dan Pertamina, serta konversi dan penghematan BBM bersubsidi menjadi prioritas utama. Apabila langkah-langkah itu belum mencukupi untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia, pemerintah baru mengambil langkah terakhir yang mungkin kurang populis, yakni menaikkan harga BBM. Meskipun langkah yang ditempuh pemerintah mendapat pujian dalam KTT G-20, tidak demikian dengan respons masyarakat. Setiap kali pemerintah mengambil langkah pengurangan subsidi BBM sebagai pengganti istilah menaikkan harga BBM, masyarakat selalu menolak, seolah tidak mau tahu persoalan keuangan negara. Tidak jarang pula, setiap ada kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah dituding membuat opini yang menyesatkan publik. Biasanya opini yang dinilai menyesatkan ini berkaitan dengan beban anggaran yang meningkat akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, yakni dampaknya pada besaran subsidi.
Kebijakan pemerintah yang didukung para ekonom liberal itulah yang dituding menyesatkan pandangan publik. Padahal, kalau kita cermati APBN, akan terungkap bahwa bukan hanya pos utang pemerintah yang menjadi penyebab APBN defisit, melainkan juga pos subsidi yang terkait dengan kenaikan harga BBM, yakni subsidi listrik disubsidi BBM. Pos utang pemerintah, khususnya utang luar negeri, memang akan menambah beban defisit APBN"". Namun ini akan terjadi apabila kenaikan harga BBM diikuti dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Penolakan kebijakan pengurangan subsidi BBM kerapkali dikaitkan pula dengan dampaknya terhadap ""wong cilik"". Padahal, hasil penelitian yang dilakukan LPEM-FEUI menunjukkan, kelompok masyarakat miskin di Indonesia hanya mengeluarkan 0,2% dari pendapatan mereka untuk konsumsi BBM dan listrik. Sedangkan kelompok menengah mengeluarkan 7%-8% dari pengeluarannya untuk konsumsi BBM dan listrik.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa non-miskin mengonsumsi bensin 8,2 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Untuk solar, kelompok non-miskin mengonsumsi 99,4 kali lebih banyak daripada kelompok miskin. Namun, untuk minyak tanah, kelompok miskin hanya mengonsumsi 1,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok non-miskin.
Kebijakan ke Depan
Indonesia boleh bangga atas sanjungan Obama itu. Namun hal tersebut tidak boleh membuat kita menjadi lupa diri, Masih banyak kekurangan atas program-program yang telah dijalankan sehingga perlu terus dibenahi. Apalagi jika program tersebut akan dijadikan contoh bagi negara-negara lain.
Kritik dari kelompok masyarakat atas kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini sebaiknya dijadikan sebagai masukan, untuk memperbaiki program guna meringankan beban masyarakat berpendapatan rendah melalui bantuan langsung tunai kepada rumah tangga ke depan, tentu melalui penyempurnaan,kebijakan ini pada akhirnya akan semakin memperkuat dan menggairahkan perekonomian nasional serta memperbaiki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan adanya kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam G-20, kebijakan penurunan subsidi BBM tidak lagi sekadar berkaitan dengan masalah defisit anggaran dan dampaknya terhadap wongcilik, melainkan juga terkait dengan masalah global warming (pemanasan global). Menyadari dampak perubahan iklim yang cukup mengerikan itu, negara-negara yang terhimpun dalam G-20 sepakat untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil dan penghasil karbon dioksida lainnya secara bertahap, sebagai upaya memerangi global warming.
Dengan demikian, Indonesia tidak lagi memiliki alasan untuk menolak menurunkan suhsidi BBM. Yang penting adalah bagaimana menyosialisasikan program ini kepada masyarakat dan selalu memperbaiki program-program alternatif untuk meminimalkan dampaknya terhadap wong cilik.(rn)