EKSPEDISI PULAU YAMDENA : SURVEI CEPAT UNTUK DATA DASAR PENERAPAN KONSERVASI
oleh Amkieltiela
Kawasan perairan timur Indonesia terkenal dengan keindahan panorama dan biota lautnya. Namun sayang, keindahan tersebut terancam memudar akibat praktik perikanan yang tidak ramah lingkungan. Bentang Laut Sunda Banda (BLSB) khususnya, terletak di pusat segitiga terumbu karang dunia yang memiliki keanekaragaman sumber daya laut yang tinggi. Kawasan ini meliputi kawasan Timur Indonesia, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku yang mengandalkan sumber daya laut sebagai sumber penghidupan. Ekspedisi dilakukan untuk mengasilkan rekomendasi bentuk pengelolaan dan konservasi berbasis masyarakat yang dapat diimplementasikan di Maluku. Kali ini menceritakan tim kedua yang melakukan ekspedisi di Pulau Yamdena yang masih dalam rangkaian Inner Banda Arc Rapid Assessment . Tim terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (DKP MTB) dan Universitas Pattimura (UNPATI) dengan total sembilan orang, yaitu James Abrahamsz (UNPATI), Pieter Soselisa (UNPATI), Frederik W. Ayal (UNPATI), Wellem R. Sihasale (UNPATI), A.P Sabono (DKP MTB), Daniel Fanumby (DKP MTB), Jan Manuputty (WWF-Indonesia), Amkieltiela (WWF-Indonesia), Reffa Pitaloka (WWF-Indonesia) dan Irvan Ahmad Fikri (WWF-Indonesia). Pulau Yamdena merupakan pulau terbesar di Kepulauan Tanimbar dengan luas 3,333 km2 dan memiliki 40 desa yang terletak di pesisir pantai. Mengingat keterbatasan waktu, maka tim memilih delapan desa yang dapat mewakili Pulau Yamdena, yaitu desa Lorulun, desa Batu Putih, pulau Seira, desa Makatian, desa Ritabel, desa Sofyanin dan desa Kelaan. Pemilihan ini merupakan rekomendasi dari DKP MTB dan UNPATI yang sudah mengenal baik kondisi Pulau ini.
Tim Yamdena mengumpulkan data sekunder kondisi sosial dan ekologi yang dimiliki pemerintah lokal dan sumber lain di kabupaten Maluku Tenggara Barat; data primer terkait pemanfaatan, pengelolaan dan sistem tata kelola sumber daya laut di tingkat kampung; dan data lapangan untuk memvalidasi klasfikasi pencitraan dari distribusi habitat laut. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) meliputi profil desa dan tata kelola adat kepada informan kunci seperti ketua adat serta Pemanfaatan sumberdaya laut kepada masyarakat yang memanfaatkan sumber daya laut setempat. FGD dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat dan informan kunci untuk memetakan lokasi-lokasi pemanfaatan sumber daya laut termasuk juga lokasi-lokasi penting lainnya (misalnya tanah adat, wilayah keramat, wilayah sasi, dll).
Setiba di Saumlaki, tim langsung menuju kantor DKP MTB untuk bertemu dengan Kepala DKP MTB dan mengumpulkan data sekunder yang mereka miliki. Setelah data terkumpul, tim melakukan pengambilan data di desa Lorulun yang masih terletak di Saumlaki. Disini tim disambut dengan upacara adat yang dilakukan oleh para tetua adat untuk melancarkan dan melindungi kami selama proses pengambilan data dilakukan. Tetua adat berkumpul di rumah adat Tanimbaruntuk memanjatkan doa yang ditutup dengan peminuman sopi oleh semua partisipan upacara adat.
Sopi merupakan minuman tradisional yang dibuat dari tanaman Mayang Enau atau yang lebih dikenal dengan Aren (Arenga pinnata). Minuman ini berasal dari Bahasa Belanda Zoopje, yang berarti alkohol cair. Proses pembuatannya pun sederhana dengan menggunakan alat-alat tradisional. Air hasil sadapan dari Mayang Enau ditempatkan daam sebuah wadah dari bamboo kemudian melalui proses penyulingan merubah air hasil sadapan menjadi sopi. Proses pembuatan sopi dari membutuhkan waktu mencapai 10 hari.
Tim kemudian melanjutkan perjalanan keesokan harinya menuju desa Batu Putih dan pada malam harinya langsung menuju pulau Seira. Kegiatan di desa Batu Putih merupakan kunjungan tersingkat kami. Setibanya di desa ini, Kepala Desa dengan sigap mengumpulkan masyarakat untuk kegiatan FGD, sementara anggota tim lainnya melakukan wawancara. Sebelum menuju pulau Seira, salah satu warga mendatangi kami dan memberikan ikan asin hasil jerih payahnya sendiri. Merasa terhormat, kami pun menerimanya dan memberikan uang sebagai pengganti meskipun beliau berusaha menolak.
Perjalanan menuju Pulau Seira tidak semulus yang dibayangkan, hujan lebat turun menghantam speed boat kami. Sempat diliputi kekhawatiran akan terjadi hal yang buruk, namun, tim berhasil mencapai pulau Seira dengan selamat. Seira unik! Meskipun memiliki lima desa, yaitu desa Kamatubun, desa Weratan, desa Temin, desa Rumah salut, dan desa Welutu tdak menjadi hambatan warga untuk saling menjunjung tinggi kerukunan antar desa. Ditunjukkan oleh berbagai aturan adat yang sudah ditetapkan dan dapat diterapkan dengan baik. Keramahan juga terpancar dari seluruh warga di Pulau Seira ini. Ternyata anak muda dan anak kecil disana sangat narsis, setiap melihat kami mereka berusaha memanggil dan meminta untuk difoto.
Tim harus segera beranjak dari Pulau Seira desa Makatian dan desa Ritabel. Cuaca kali ini sangat mendukung, tim dapat melihat dengan gamblang panorama sepanjang perjalanan Seira-Makatian. Desa Ritabel menjadi tempat menginap untuk mengambil data di desa Kelaan dan desa Sofyanin. Disini kami bertemu dengan Mbak Vera, pemilik rumah makan yang berasal dari Surabaya. Beliau memiliki mimpi untuk mengembangkan bisnis rumah makannya dengan pindah ke Bali. Mbak Vera menjadi tempat makan tim setiap hari, Mbak Vera juga menjadi sumber informasi mengenai masyarakat serta perusahaan perikanan yang ada di desa Ritabel dan sekitarnya.
Perjalanan kembali dari desa Kelaan menuju desa Ritabel dilakukan melalui jalur darat dikarenakan speed boat harus kembali ke desa Ritabel agar tidak mengalami kandas akibat air laut yang surut. Keesokan harinya, tim berangkat menuju desa Sofyanin. Ketika FGD berlangsung, terjadi perbedaan pendapat antar masyarakat yang hampir menimbulkan perkelahian, namun berhasil diatasi oleh tim dengan bantuan kepala desa sehingga FGD dapat berjalan dengan lancar.
Tim kemudian kembali ke desa Ritabel namun tidak lupa untuk mampir ke pulau Nukaha. Mata dimanjakan oleh keindahan pulau Nukaha dan lembutnya butiran pasir yang menghampar di pulau tak berpenghuni ini. Setelah puas beristirahat di pulau Nukaha, tim kembali ke desa Ritabel untuk beristirahat sebelum kembali bertolak ke Saumlaki dan Ambon. Pengambilan data terakhir dilakukan di Skaru Kilimasa, yaitu pengambilan data tutupan terumbu karang dengan menggunakan metode Manta tow. Perjalanan ekspedisi ditutup dengan hujan badai menuju Saumlaki. Sungguh ekspedisi yang menyenangkan, mendebarkan sekaligus menambah pengetahuan!