DISKUSI KONSERVASI: MEMBERANTAS PERDAGANGAN ILEGAL SATWA
Oleh: Sani Firmansyah (Supporter Center Officer)
“Perburuan dan perdagangan ilegal satwa merupakan kegiatan kriminal yang memiliki omzet besar dan cenderung meningkat sejalan meningkatnya permintaan terhadap bagian-bagian tubuh beberapa satwa. Hal ini merupakan kejahatan serius, terorganisir, dan memiliki jaringan luas serta dianggap sebagai bisnis yang memiliki risiko kecil, tetapi memberikan keuntungan besar,” tutur Novi Hardianto, Law Enforcement & Wildlife Illegal Trade Officer WWF-Indonesia dalam Diskusi Konservasi (DisKo) yang berlokasi di Jakarta Creative Hub , pada Sabtu (07/04).
Berdasarkan pengusutan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, perburuan dan perdagangan ini masih terjadi karena berbagai motif, seperti alasan ekonomi, pengobatan, makanan, penangkal bahaya, suvenir, dan kebanggaan kepemilikan satwa langka. Modus operandinya melalui berbagai jalur, seperti pasar satwa, komunitas pecinta satwa, dan perdagangan online (sosial media).
“Faktanya, 85% satwa liar yang diperdagangkan berasal dari alam dan hasil perburuan liar. Lalu minimal 8 ton gading gajah yang telah beredar 10 tahun terakhir berasal dari Sumatera dan minimal 2.000 ekor trenggiling diekspor secara ilegal per bulan sejak 2002,” ungkapnya. “Tidak hanya berhenti di situ saja, lebih dari 100 orangutan diselundupkan keluar negeri. Lebih dari 20 ekor Harimau Sumatera dibunuh setiap tahunnya untuk diperdagangkan kulitnya serta bagian tubuh lainnya,” Novi menambahkan fakta-fakta memprihatinkan tentang perdagangan ilegal satwa.
Perburuan dan perdagangan ilegal satwa ini berdampak pada keberlangsungan berbagai satwa di alam. Rantai makanan yang tidak seimbang mengakibatkan kesejahteraan masyarakat lokal menurun. Hal ini berbanding lurus dengan terancamnya ekonomi nasional. WWF berperan dalam membantu memerangi kejahatan terhadap satwa, salah satunya dengan membentuk Wildlife Crime Team yang bertugas untuk mengumpulkan data perdagangan ilegal satwa, baik secara offline maupun online. Tim ini juga mendukung pihak yang berwajib dalam penegakan hukum dengan mendorong berbagai kebijakan advokasi. Selain itu, WWF melakukan sosialisasi pencegahan dan penegakan hukum kepada masyarakat. Hal ini juga berfungsi untuk memitigasi konflik yang terjadi antara manusia dan satwa.
“Berapa besar kerugian yang negara ini dapatkan ketika perburuan terus terjadi?” tanya Hafidz, mahasiwa Institut Pertanian Bogor yang mengikuti diskusi. “Berdasarkan pengusutan Illegal Trafficking PHKA Direktorat Kehutanan, pada tahun 2009 Indonesia mengalami kerugian Rp 9 trilliun setiap tahunnya. Mungkin sekarang semakin tinggi lagi karena semakin marak perburuan terjadi,” jawab Novi.
“Ketika kami sudah mengetahui perburuan dan perdagangan satwa ilegal, apa yang sebaiknya dilakukan?” tanya Annisa, seorang konsultan hukum swasta. “Caranya mudah sekali dengan mengunduh aplikasi secara gratis melalui smartphone ‘E-Pelaporan Satwa Dilindungi’. Kita bisa melaporkan perburuan dan perdagangan yang terjadi. Itu hal yang bisa dilakukan publik dan yang paling mudah adalah dengan tidak membeli berbagai produk dari satwa yang dilindungi karena dengan semakin banyaknya pasar yang meminta maka perburuan pun akan semakin banyak,” terang Novi.