DISKUSI KONSERVASI: EMISI BIKIN EMOSI!
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi makhluk hidup di Bumi. Dampak yang ditimbulkan mempengaruhi ekosistem yang ada di seluruh dunia. Namun, kita tidak boleh diam saja melihat permasalahan global ini. Dengan kerja sama semua pihak, ancaman bahaya bisa dihindari.
Menanggapi fenomena perubahan iklim yang sedang hangat diperbincangkan, WWF-Indonesia menyelenggarakan Diskusi Konservasi (DisKo) bertemakan “Emisi Bikin Emosi?”. Kegiatan dilakukan secara daring pada tanggal 23 Oktober 2020. DisKo kali ini menghadirkan dua narasumber ahli, yaitu Energy Specialist WWF-Indonesia Indra Sari Wardhani dan Mutia sebagai Executive Director dari organisasi Enter Nusantara. Keduanya berbagi informasi dan cerita perjuangan organisasi dalam memerangi isu energi di Indonesia.
Indrasari membuka presentasinya dengan pemaparan teknis dari kejadian Efek Rumah Kaca. Permasalahan lingkungan ini terjadi ketika panas matahari yang merambat ke Bumi tidak dapat diserap secara maksimal sehingga terpantul kembali dan menetap di udara. Hal tersebut menyebabkan mencairnya es yang ada di kutub sehingga dapat membuat kenaikan permukaan air laut. Akibatnya, satwa akan kehilangan habitatnya secara perlahan, sementara manusia bisa menjadi korban dari gelombang panas yang terjadi di beberapa tahun belakangan. Di Indonesia sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) mencatat 2.059 bencana alam sepanjang 2020. Sejumlah musibah yang terjadi karena cuaca ekstrim antara lain banjir, puting beliung dan tanah longsor.
Salah satu pemicu perubahan iklim adalah kebijakan pemilihan sumber energi untuk menghasilkan listrik yang digunakan untuk mendukung kehidupan manusia sehari-hari. Listrik bisa diproduksi dari sumber energi terbarukan –misalnya, cahaya matahari dan angin- dan tidak terbarukan, seperti minyak bumi, gas, batu bara. Pemanfaatan sumber energi tak terbarukan untuk menghasilkan listrik inilah yang dapat menimbulkan emisi karbon, kemudian menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari pemerintah untuk menetapkan target kebijakan energi di Indonesia.
Setelah penjelasan mengenai energi dan iklim oleh Indrasari, Selanjutknya giliran Mutia yang memaparkan peran yang dapat dilakukan oleh pemuda untuk perubahan. Berdasarkan survei dari Yayasan Cerah dan Change.Org, sebenarnya anak muda mengerti urgensi yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Jadi, potensi untuk memulai gerakan positif dari generasi masa kini sangatlah mungkin.
Menurut Mutia, langkah pertama yang perlu dilakukan anak muda untuk bergerak untuk mengurangi emisi yaitu mencari informasi di berbagai kanal. Jika sudah mendapat materi yang dibutuhkan, ada baiknya anak muda bersuara atau melakukan aksi. Tindakan sekecil apa pun sangat berarti bagi perubahan yang ada di Bumi. “Terakhir, jangan lupa untuk menyebarkan ilmu maupun aksi yang dilakukan. Share di media sosial, Instagram, Tiktok, supaya banyak orang yang terinspirasi,” demikian Mutia menutup pemaparannya.
Sebagai penutup dari DisKo, Panca selaku moderator yang juga mewakili Earth Hour Balikpapan menyimpulkan bahwa emisi yang dihasilkan manusia sudah terlalu mengkhawatirkan bagi keberlanjutan Bumi. Oleh karena itu, anak muda diharapkan dapat mendorong pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan. Dengan menggalakkan gerakan energi terbarukan, Bumi kita akan lebih layak ditinggali untuk seluruh makhluk hidup.