CLIMATE WITNESS: PAK AZHAR, INDONESIA
Saya menetap di Balikukup sejak tahun 1999. Balikukup sendiri merupakan sebuah pulau gosong pasir dengan luas sekitar 18 hektar. Karena berbentuk gosong pasir, maka luas daratan pulau tersebut tidak tetap. Ini diakibatkan ketika air laut sedang surut, maka daratan pasir yang membentang dapat mencapai hingga 1 kilometer ke arah laut.
Saya mulai menjadi nelayan teripang di Balikukup sejak tahun 2001. Ada dua cara untuk mencari teripang. Ada yang mencari di pantai sekitar pulau saja ketika air surut pada malam hari, namun ada juga yang menyelam di laut hingga kedalaman kurang lebih 10 meter.
Nelayan teripang sangat bergantung pada cuaca. Jika hujan atau badai, maka nelayan yang mencari di pasir sekitar pulau hanya akan dapat hasil sedikit atau bahkan tidak mendapat hasil karena teripang tidak keluar dari persembunyian saat hujan atau badai. Dengan demikian, nelayan teripang harus memperhatikan keadaan cuaca sebelum pergi mencari teripang.
Biasanya saya memperhatikan cuaca pada saat sore atau menjelang malam untuk memprediksi apakah akan hujan atau badai pada malam hari. Namun sekarang ini, prediksi sering meleset. Buktinya kemarin sore, saya prediksi bahwa malam tidak akan hujan, namun nyatanya tengah malam hujan deras.
Dulu, kami para nelayan, merasakan bahwa cuaca itu bisa diprediksikan. Namun sekarang tidak lagi. Demikian juga yang dirasakan oleh para tetua nelayan di kampung kami. Sejak tahun 2002, Pak Atang, tetua nelayan yang paling ahli memprediksi cuaca di Balikukup, mengatakan bahwa ia sulit sekali meramalkan cuaca karena banyak ramalannya yang meleset. Padahal sebelumnya Pak Atang mampu membuat prediksi yang tepat bahkan hingga setahun ke depan.
Salah satu contoh peristiwa cuaca semakin tidak menentu adalah menghilangnya fenomena bulan janda. Bulan janda merupakan sebuah peristiwa tahunan dimana angin bertiup kencang selama 44 hari tanpa henti. Angin kencang bertiup dari selatan. Hanya reda sebentar, sekitar setengah jam, kemudian bertiup kencang kembali, sehingga tidak ada kesempatan bagi nelayan untuk melaut.
Seharusnya jika persiapan tabungan uang dan persediaan makanan sudah cukup, maka nelayan tidak perlu pergi melaut selama bulan janda karena faktor keamanan di laut. Namun, jika kurang persiapan, maka agar keluarga bisa makan, nelayan harus melaut di saat angin kencang sekali pun. Dinamakan bulan janda karena nelayan yang pergi melaut di musim ini jarang yang berhasil pulang dengan selamat. Akibatnya, banyak istri nelayan yang menjadi janda pada masa itu.
Fenomena bulan janda ini sekarang sudah tidak pernah dirasakan lagi. Mungkin terakhir dirasakan sekitar tahun 1991, menurut penuturan para nelayan lain. Sesudah itu tidak jelas, bisa saja ada masa teduh selama hingga dua minggu di saat bulan janda seharusnya terjadi. Tidak ada nelayan yang tahu mengapa fenomena bulan janda berangsur-angsur hilang.
Cuaca yang tidak menentu ini tidak menguntungkan kami, para nelayan, karena menyulitkan kami untuk memprediksi waktu untuk melaut. Hal ini juga menyebabkan kami sulit memprediksikan penghasilan. Kalau dulu, kami bisa membuat perhitungan kapan waktunya untuk mengumpulkan uang karena tahu kapan bisa melaut. Sekarang, jika ada kesempatan laut teduh sedikit, kami langsung pergi melaut.