ATASI KONFLIK MANUSIA DAN SATWA LIAR, 5 DESA DI KAUR BENTUK SATGAS
Matahari bersinar cerah pagi ini. Membantu menghangatkan jalanan tanah merah yang basah akibat hujan semalam. Akhirnya anak-anak sekolah dan warga Desa Tri Jaya dapat lebih mudah untuk berlalu lalang melakukan aktivitasnya. Setidaknya, pagi ini, mereka tertolong. Tidak banyak tanah yang menempel di alas kaki atau kendaraan mereka. Sehingga tidak perlu susah payah untuk bergelut dengan kendaraan yang macet karena jalanan yang becek dan tentu lebih mudah untuk membersihkannya nanti. Tidak hanya menghangatkan jalanan, pagi itu cahaya matahari menyapa kami, melalui bilik-bilik ventilasi dan jendela ruang tamu Wahyudi, Kepala Desa Tri Jaya.
Berbeda dari biasanya, ruang tamu yang seringkali lengang, pagi ini ramai dengan hiruk pikuk bapak-bapak. Bapak-bapak ini adalah warga perwakilan dari 4 desa tetangga lainnya, yaitu, Sukajaya, Bukit Indah, Sinar Banten dan Sumber Harapan. Desa-desa ini merupakan desa dampingan WWF dalam program Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Habitat Satwa Kunci di Desa Penyangga Resort Merpas TNBBS.
Ditemani secangkir kopi, obrolan santai pun dimulai sembari berbagi gelak tawa. Kali ini, mereka berkumpul dalam rangka mengikuti sosialisasi penanggulangan konflik manusia dan harimau serta pembentukan tim Satuan Tugas (Satgas) monitoring satwa liar. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat tentang pentingnya keberadaan Harimau Sumatera dan cara penanggulangan konflik manusia-harimau, serta meningkatkan koordinasi dan kolaborasi masyarakat sebagai upaya mitigasi konflik Harimau Sumatera.
Pada tahun 2014, desa-desa dampingan ini, khususnya Desa Trijaya dan Sinar Banten memiliki masa lalu yang kurang baik dengan Harimau Sumatera. Terjadi konflik yang cukup besar dimana 1 orang diterkam Harimau Sumatera dan ratusan ekor ternak kambing milik warga desa tersebut habis disantapnya. Bahkan, hingga saat ini masyarakat beberapa kali masih menyaksikan harimau terlihat melintas di tengah jalan desa ketika senja tiba. Konflik manusia-harimau ini dipicu oleh kegiatan pembukaan lahan atau alih fungsi hutan alami menjadi hutan produksi sawit pada tahun 2012-2014 yang berdampak pada keberadaan Harimau Sumatera dan mangsanya di wilayah tersebut. Pembukaan lahan ini mengakibatkan homerange (daerah jelajah) Harimau Sumatera semakin menyempit, sehingga harimau masuk ke dalam perkampungan.
Berdasarkan buku Spatio – Temporal Patterns of Human Tigers Conflicts in Sumatra 2001–2016, ada 1065 kasus konflik harimau dan manusia di seluruh bagian Sumatera. Angka konflik terbesar ialah konflik harimau memangsa ternak warga dengan jumlah 376 kasus. Peringkat kedua adalah harimau yang masuk ke pemukiman warga, 375 kasus. Kasus manusia diserang secara langsung dan menyebabkan korban luka oleh harimau menempati peringkat ke tiga dengan jumlah 184 kasus. Sedangkan kasus harimau dijerat, diracun, ditembak dan kegiatan perburuan lainnya menduduki peringkat ke empat, yaitu 130 kasus.
Dalam kesempatan ini, masyarakat mendapat pengetahuan lebih mengenai “Mbah Kumis” sebutan masyarakat setempat untuk Harimau Sumatera. Tidak hanya mengenal lebih jauh mengenai profil dan habitatnya, masyarakat juga belajar untuk memahami alasan harimau masuk ke perkampungan, pentingnya menjaga hutan untuk kelestariannya, serta cara menanggulangi konflik manusia-harimau apabila terjadi. Pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat bisa menyadari bahwa harimau bukanlah musuh, namun merupakan makhluk yang ikut berperan dalam keseimbangan ekosistem. Alih-alih membenci harimau karena dianggap mengganggu dan meresahkan, pemahaman mengenai pentingnya eksistensi Harimau Sumatera diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga habitat satwa ini sehingga terhindar dari kepunahan.
Hasil kajian harimau yang berjudul “Tigers Need Cover” yang ditulis oleh sejumlah peneliti harimau dari WWF Indonesia, Virginia Tech dan didukung oleh Kemetrian Kehutanan RI pada tahun 2012 menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu harimau dapat menggunakan kawasan hutan tanaman akasia, perkebunan sawit, dan perkebunan karet sebagai wilayah jelajahnya. Namun, mempertimbangkan ketersedian mangsanya, harimau cenderung menghindari perkebunan dan lebih memilih hutan. Kondisi yang disukai harimau, selain ketersediaan mangsa yang cukup, adalah, jarak yang tidak terlalu jauh dari titik pusat blok hutan berukuran besar (>50,000 ha), tutupan tumbuhan bawah yang rapat, serta tingkat aktivitas manusia yang minimal. Bertolak dari hasil kajian ini, sangat memungkinkan bahwa wilayah sekitar 5 desa tersebut adalah daerah jelajah harimau dan hadirnya harimau di desa-desa tersebut dapat diminimalisir dengan menjaga tutupan hutan tempat tinggalnya untuk tetap rapat.
Selain harimau, dalam kegiatan ini masyarakat juga menyebutkan satwa-satwa yang masih mereka temui ketika melakukan aktivitas di hutan atau kebun ketika merumput untuk ternaknya atau saat sedang menyadap karet yang juga merupakan penghasilan unggulan desa-desa tersebut. Berbagai satwa yang sering mereka temui antara lain Beruang Madu (Helarctus malayanus), Tapir (Tapirus indicus), Beruk (Macaca nemestrina), Monyet Ekor-panjang (Macaca fascicularis), Tupai, Trenggiling (Manis javanica), Macan Dahan (Neofelis diardii), Simpai (Presbytis melalophos), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Rusa unicolor), Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), Babi Hutan (Sus scrofa), Landak (Hystrix brachiura), beberapa jenis musang dan juga beberapa jenis burung. Beberapa satwa yang disebutkan ini pun pernah tertangkap dokumentasinya melalui kamera penjebak yang telah dipasang oleh Tim WWF.
Atas dukungan dan partisipasi aktif dari masing-masing desa, terbentuklah sebuah tim Satuan Tugas (Satgas) monitoring satwa liar yang anggotanya merupakan gabungan perwakilan dari tiap desa. Nantinya, tim ini akan menjadi garda terdepan 5 desa dalam upaya swadaya masyarakat apabila terjadi konflik antara manusia dan satwa liar. Dalam peranannya untuk menindaklanjuti MoU bersama Kementrian Pedesaan, WWF turut serta mendorong masing-masing desa agar memberikan dukungannya terkait kegiatan ini]. Hal ini pun disambut baik oleh masing-masing perwakilan desa, sehingga ke depan mereka akan mengawal kegiatan ini agar dapat masuk ke dalam anggaran dana desa (ADD). Adanya tim ini, juga diharapkan agar koordinasi dan komunikasi antara masyarakat dengan pengelola kawasan (BKSDA & KPH Kaur), serta Yayasan WWF Indonesia akan terjalin dengan baik, sehingga konflik manusia dan satwa liar dapat diminimalisir dan dicegah.
Komitmen dan partisipasi aktif berbagai pihak seperti inilah yang patut ditingkatkan demi menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga keberadaan satwa dan tempat tinggalnya. Pemahaman bahwa selayaknya manusia, satwa juga membutuhkan tempat untuk tinggal dan menjalankan aktivitasnya adalah hal yang penting dilakukan agar manusia mau berbagi ruang, serta hidup berdampingan dengan alam dan satwa liar. Inilah kompromi terbaik yang dapat dilakukan oleh sesama makhluk hidup saat ini. Karena koeksistensi tidak akan hadir tanpa kompromi dan toleransi.
Untuk mendukung hal ini, WWF Indonesia melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dalam membantu upaya penyelamatan habitat harimau, WWF juga melakukan pemasangan camera trap untuk memantau keberadaan satwa harimau yang masih dijumpai di daerah itu. Semoga dengan ini, masyarakat dan satwa liar dapat berbagi ruang dan saling jaga. Bisa hidup bersama.