ARMIN DAN LA TARA: MUSIM YANG MEMBINGUNGKAN
Saya sudah melaut sejak dari kecil, mengikuti jejak ayah saya. Jika dibandingkan dengan ketika saya masih kecil, saya merasakan sekarang gelombang tidak lagi sekuat dulu. Dulu, jika saya sedang melaut di antara Pulau Tomia dan Onemoba, seringkali gelombang bisa sangat tinggi sekali sehingga saya tidak bisa melihat pulau di seberang. Namun, sekarang, saya tidak pernah merasakan gelombang yang seperti itu lagi.
Sebagai nelayan, saya sangat bergantung pada musim. Sayangnya, sekarang musim tidak bisa diandalkan lagi ketepatannya. Saya merasakan perubahan ini mulai terjadi sejak sekitar tiga tahun yang lalu. Bulan Oktober-November seharusnya sudah masuk musim teduh (musim pancaroba), namun sekarang hingga bulan November masih musim angin timur (angin kencang yang bertiup dari Australia, sifatnya kering dan kurang mengandung uap air). Bahkan di bulan Agustus lalu, di saat musimg angin timur, tiba-tiba datang angin barat (angin yang banyak mengandung uap air, biasanya muncul bulan November – Maret). Dan di tengah-tengah musim angin barat, mendadak datang angin timur. Saya menyebut peristiwa perubahan musim ini dengan “angin timur yang bingung”.
Arus juga berubah. Biasanya jika air sedang pasang, maka arus akan bergerak ke arah barat. Namun sekarang arus bergerak tidak menentu. Hal ini membuat saya harus lebih lama melaut karena menunggu ikan lewat di lokasi-lokasi tempat ikan biasa berada atau mencari lokasi baru di mana ikan berkumpul. Biasanya saya memancing hanya perlu waktu sekitar 2 jam, namun sekarang bisa 4-5 jam, karena harus mencari ulang lokasi-lokasi baru tempat ikan berada.
Hasil tangkapan ikan juga menurun jumlahnya. Selain mungkin karena perubahan arus, penyebab utama adalah karena penangkapan ikan berlebihan dan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Di sekitar Tomia, dulu banyak nelayan yang memakai bom. Namun, sejak 2003, penggunaan bom sudah sangat berkurang karena banyak nelayan sudah disadarkan bahwa bom merusak habitat ikan dan pada akhirnya merugikan nelayan juga. Jika saya bertemu dengan nelayan yang memakai bom atau bius, maka saya akan menegur dengan cara baik-baik.
Di samping cara-cara yang tidak ramah lingkungan, faktor bertambahnya jumlah nelayan juga mungkin menjadi penyebab turunnya jumlah tangkapan ikan. Sekarang banyak orang gunung, yang tadinya hanya berladang, sekarang juga turun melaut, karena area hutan dan ladang sudah jauh berkurang karena telah berubah menjadi pemukiman.
Kisah La Tara
La Tara, umur 39 tahun, sesama nelayan dari komunitas Potau-tau, juga menyatakan hal yang sama dengan ungkapan Armin.
Walaupun lahir di gunung, La Tara sejak umur 7 tahun sudah pergi melaut sendiri untuk memancing. La Tara biasa memancing ikan dengan cara mengejar ikan. Dengan setengah badan masuk ke air, La Tara menggunakan kaca mata renangnya untuk mencari ikan yang akan ditangkap. Jika melihat ikan yang menjadi target tangkapannya, maka umpan yang dipasang di ujung tali pancing akan dilambaikan dekat ikan tersebut.
Penurunan hasil tangkapan sangat dirasakan oleh La Tara. Dulu sebelum tahun 2006, dalam 2 jam, La Tara bisa mendapatkan 15 ekor ikan sunu. Sekarang, dalam waktu 2-5 jam, hanya bisa dapat 1-2 ekor saja. Akibatnya pendapatannya menurun. Dulu bisa 200-300 ribu, sekarang jika sedang beruntung bisa dapat 150 ribu dan jika sedang tidak beruntung sama sekali tidak dapat uang.