AURA OPTIMISTIK MEMBUKA KTT PERUBAHAN IKLIM KOPENHAGEN
Oleh Nur R Fajar
KTT ke-15 Perubahan Iklim (Conferense of Parties/COP) dari Konvensi Kerangka Kerja dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework for Climate Change Conuention/UNfCCC) resmi dibuka oleh Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen pada Senin kemarin (7/12). Dari berbagai petinggi negara peserta dan badan-badan dunia untuk perubahan iklim, terkesan ada aura optimistik konferensi ke-15 ini dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang mengikat (legally binding) bagi negara-negara COP terutama komitmen dari negara-negara industri.
Perdana Menteri Denmark dalam pembukaan konferensi menyatakan keinginannya agar dihasilkan suatu kesepakatan yang kuat dan ambisius dalam menjawab tantangan perubahan iklim diharapkan dapat terjawab dengan konfirmasi dari 110 kepala negara yang akan hadir pada KTT ke-15 ini.
Selama dua minggu penyelenggaraan konferensi, Lars mengatakan Kopenhagen berubah namanya menjadi ""Hopehagen"" atau kota harapan dengan dicapainya kesepakatan yang mengikat semua negara mengatasi perubahan iklim.
Sedangkan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo De Boer mengatakan kesuksesan konferensi hanya bisa diukur dengan adanya satu kesepakatan yang implementatif dan segera. ""Saya mendengar pernyataan politik yang kuat (dari negara peserta konferensi) untuk tercapainya sebuah kesepakatan yang memuat tujuan pembatasan emisi secara serius dan beberapa hal tentang pendanaan dan dukungan teknologi kepada negara-negara berkembang,"" katanya. Hal ini tentunya dapat tercapai jika negara-negara dapat memfokuskan upaya mereka dalam merumuskan suatu kesepakatan yang solid, Yvo mengibaratkan hasil kesepakatan KTT Perubahan Iklim sebagai sebagai sebuah ""kue natal"" ideal dari Kopenhagen. ""Saat ini, banyak orang sibuk mempersiapkan kue-kue Natal mereka. Dan saya harap Perdana Menteri Denmark dapat meniup lilin kue natal Kopenhagen ini,"" katanya.
Sementara itu, Presiden KTT ke-15 UNFCCC, Connie Hede-gaard yang akan memimpin konferensi, meminta kepada semua delegasi dari berbagai negara untuk segera bertindak menangani dampak perubahan iklim. ""Mari kita selesaikan. Saatnya sekarang untuk menyampaikan. Sekarang ini tempatnya untuk berkomitmen. Dan memang masih banyak rintangan, tetapi saatnya kita mengatasinya,"" kata Connie pada sambutan pembukaan KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Senin. Connie berharap pada 18 Desember 2009 di Kopenhagen diingat dengan semangat ""C"" yaitu ""Copenhagen"", ""Construktiveness"", ""Cooperation"", ""Commitmen"" dan ""Consensus.""
Delegasi Indonesia sendiri menyatakan akan berusaha menjembatani semua kepentingan negara industrialisasi dan negara berkembang pada KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark agar tercapai kesepakatan yang mengikat ""Kami, Delegasi Republik Indonesia yakin dapat berperan dalam menjembatani tercapainya benang merah berbagai kepentingan, terutama antara Negara maju dan Negara berkembang,"" kata Ketua Delegasi RI (Delri) yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar di Kopenhagen.
Rachmat mengatakan ada dua permasalahan dalam pencapaian konsensus, yaitu belum sepahamnya para pihak tentang masalah dimensi waktu dan siapa yang harus memulai terlebih dahulu. ""Para pihak (negara peserta konferensi) terlihat sangat optimis, sebagaimana hasil di Bali (KTT ke-13 Perubahan Iklim 2007), saya yakin di Kopenhagen ini juga akan ada hasil kejutan yang kita harapkan,"" katanya, kelompok negara.
Dalam pembukaan konferensi, kelompok-kelompok negara peserta telah menyatakan posisi mereka masing-masing untuk negosiasi. Sudan mewakili Kelompok 77 Negara Berkembang (G77) dan China, secara tegas menolak adanya kewajiban bagi negara berkembang dalam kesepakatan yang akan dihasilkan di COP-15. Ditegaskan pula bahwa hasil kesepakatan harus sesuai dengan mandat Bali Action Plan (BAP) yang menempatkan shared vision sebagai arah aksi kerja sama jangka panjang yang mewakili korelasi upaya stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dengan memperhatikan semua pilar BAP.
Oleh karena itu, negara maju harus tetap menjamin upaya mitigasi sedangkan negara berkembang akan berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya pembangunan ekonomi rendah karbon di masing-masing negara. Pendapat ini didukung oleh Aljazair yang mewakili Kelompok Negara Afrika, Lesotho yang mewakili Kelompok ""Least Developed Countries"" (LDC), dan Grenada yang mewakili ""Alliance of Small Island States (AOS1S). Meksiko mewakili ""Environ mental Integrity Group"" (EIG) juga mendukung agar proses yang telah dimandatkan oleh BAP diselesaikan. EIG juga mendukung agar dapat tercapai suatu kesepakatan yang mengikat secara hukum serta perlunya agar Protokol Kyoto tetap dilanjutkan.
Australia yang mewakili ""Umbrella Group"" (Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Ukraina and Amerika Serikat) juga mengharapkan KTT ke-15 Perubahan Iklim dapat menghasilkan suatu aksi yang tegas dengan cara memaksimalkan kredibilitas dan mengakui kajian ilmiah yang menyatakan bahwa kenaikan temperatur bumi tidak melebih 2°C pertahunnya. Semua negara dituntut dapat mengambil tindakan sesuai kemampuannya masing-masing, serta mendukung tercapainya suatu kesepakatan yang mengikat secara hukum.
Swedia mewakili Kelompok Negara Eropa menyatakan komitmen Negara-negara Eropa untuk mencapai hasil yang ambisius dan mengikat secara hukum yang mecakup semua building blocks dan tindakan segera, serta perlunya agar Protokol Kyoto tetap dilanjutkan. Negara-negara Eropa berkomitmen untuk memotong emisi gas buang serta mengupayakan pendanaan untuk adaptasi. Untuk rencana jangka pendek, disampaikan bahwa negara-negara Eropa akan memberikan komitmen 5-7 miliar Euro setelah tiga tahun berlakunya kesepakatan yang dihasilkan di KTT ke-15 Perubahan Iklim.
Menjelang dimulainya KTT Kopenhagen, masyarakat global merasa pesimis akan dicapainya suatu kesepakatan yang mengikat bagi penanganan perubahan iklim. Hal tersebut dikarenakan negara-negara maju alias negara industri yang kukuh pada posisi masing-masing untuk tidak mau berkomitmen secara sungguh-sungguh menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim. Terutama komitmen dari tiga negara emiter terbesar GRK dunia yaitu Amerika, Cina dan India. Akan tetapi, tiga negara tersebut akhirnya mengeluarkan pernyataan tentang target penurunan emisi karbon mereka menjelang dimulainya KTT ke-15 Perubahan Iklim.
Amerika Serikat menyatakan berkomitmen emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen dari level tahun 2005 pada tahun 2020. Dan China pun telah mengeluarkan target penurunan emisi 40-45 persen dari level tahun 2005 pada tahun 2020, yang didasarkan atas produk domestik bruto (GDP)-nya.
Sedangkan India melalui Menteri Lingkungan India, lairam Ramesh pada Kamis (3/12) menyatakan akan mengurangi 20-25 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 dengan acuan tahun 2005, akan tetapi India tidak akan menandatangani kesepakatan apa pun yang berdaya ikat hukum dalam KTT Iklim Kopenhagen.
Dengan terkuaknya komitmen tiga negara tersebut, akan menarik mengikuti akhir dari KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen ini. Akankah 110 kepala negara dan pemerintahan yang direncanakan dalang pada akhir konferensi, memang berniat untuk menyelamatkan masyarakat dunia dari bencana perubahan iklim, atau mereka masih ""keukeuh"" untuk menunda berkomitmen.