SKANDAL DANISH TEXT
Dokumen Denmark dianggap hanya menguntungkan negara maju.
KOPENHAGEN - Ruang sidang pleno Tycho Brahe di gedung Bella Center, Kopenhagen, Denmark, kemarin pagi kembali dijejali delegasi dari 192 negara. Konferensi pun kemudian dibuka oleh Connie Hedegaard, Presiden Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga Menteri Lingkungan Hidup Denmark. Sehari sebelumnya, konferensi sempat dihentikan karena perseteruan di antara delegasi.
Perseteruan ini disebabkan oleh bocornya aksi diam-diam Denmark mengedarkan draf Copenhagen Agreement atau Danish Text ke sejumlah negara. Denmark tampaknya ingin memasukkan draf Copenhagen Agreement ke sidang pleno KTT Perubahan Iklim. Draf itu baru disampaikan pada hari pertama sidang, bukan enam bulan sebelumnya seperti persyaratan prosedur Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim.
Diketahui pula ternyata sejak beberapa hari yang lalu, Connie Hedegaard mengadakan hubungan informal dengan sejumlah negara besar di PBB, termasuk Amerika Serikat, yang tidak bersedia menandatangani Protokol Kyoto, dan Jepang. Sebagai tuan rumah, Denmark rupanya ingin konferensi berhasil mencapai kesepakatan politik jangka menengah. Namun, dokumen itu keburu bocor dan menyebabkan kemarahan sejumlah negara kepulauan, khususnya Tuvalu.
Dalam pembukaan kemarin, pembicaraan masih memanas. Negara-negara AOSIS atau kepulauan kecil, negara miskin, dan lembaga swadaya masyarakat terus menentang Danish Text. Indonesia sendiri tidak berkomentar soal ini. ""Kami belum mendapatkannya,"" ujar Ketua Delegasi Indonesia Rahmat Witoelar.
Menyangkut Danish Text, De Boer, melalui siaran pers yang dikeluarkan sekretariat konferensi, berusaha mendinginkan suasana dengan mengatakan bahwa itu hanya dokumen informal yang dikeluarkan sebelum konferensi untuk diberikan kepada beberapa orang dalam rangka proses konsultasi.
De Boer patut risau. Sebab, dokumen bertajuk Adoption of the Copenhagen Agreement yang memuat 32 pasal itu dinilai hanya menguntungkan negara-negara maju. Misalnya soal target dan waktu pencapaian emisi, yakni 50 persen pada 2050. Tidak ada target untuk 2020, seperti yang disyaratkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa pada tahun itu harus dipatok pengurangan emisi sampai 25-40 persen.
""Mereka mau menunda waktu, padahal yang sangat penting dinanti adalah target penurunan emisi negara maju pada 2020,"" kata Fitrian Ardiyansah, Direktur Program Energi dan Iklim WWF
Aliansi lembaga swadaya masyarakat internasional juga menolaknya. ""Ada kecurangan di Denmark,"" tulis mereka dalam sebuah buletin. Mereka mengatakan pidato pembukaan konferensi oleh Connie Hedegaard, yang ingin mendengar dan lebih transparan, ternyata jauh dari kenyataan.
Tak hanya menolak Danish Text, lembaga-lembaga swadaya masyarakat internasional juga menolak Copenhagen Accord, yang diusung negara-negara BASIC (Brasil, Afrika Selatan, India, Cina). Seperti Danish Text, Copenhagen Accord dinilai tidak adil, berambisi, dan mengikat secara hukum.*Untung Widyanto(Kopenhagen)[Sunariah]