INDONESIA HARUS WUJUDKAN KEADILAN PERIKANAN
Hari Nusantara, tepatnya pada 13 Desember, merupakan momen yang tepat bagi 238 juta jiwa rakyat Indonesia untuk merefleksikan tata interaksi antara laut dan manusia. Seperti diamanatkan oleh Djuanda pada awal pemerintahan RI bahwa laut, jelas bukan sebagai pembatas dan penghalang untuk maju, tetapi justru sebagai penyambung persaudaraan, perekat persatuan, sumber kehidupan, dan pilar kejayaan.
Proses pembangunan kelautan dan perikanan yang berlangsung telah menggusur nelayan dari laut sebagai mang hidupnya. Sejumlah peraturan masih mengizinkan pengoperasian alat tangkap crawl dan masuknya kapal-kapal asing. Hal itu membahayakan ketersediaan ikan, utamanya di wilayah tangkap yang mengalami kondisi tangkap lebih.
Pencemaran laut akibat limbah buangan dari perusahaan-perusahaan (ambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemaksaan kawasan konservasi buatan lembaga asing hingga pembabatan mangrove untuk kepentingan tambak intensif berbasis ekspor telah memangkas desa-desa nelayan serta turut merampas hak akses dan kelola dari nelayan. Sungguh merupakan kerugian maha besar bagi upaya-upaya bangsa membangun tradisi budaya maritim.
Sementara itu, pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan terancam hilang karena keberadaannya diabaikan, setidaknya kurang diperhatikan. Mengacu pada laporan edisi keempat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC. 2007), negara dengan banyak pulau seperti Indonesia memiliki kerentanan alas ketersediaan air bersih, ketahanan pangan, penenggelaman pesisir hingga pulau, dan kesehatan.
Sungguh disayangkan dengan berlanjutnya sikap mengenalkan laut sebagai sumber kas negara. Hampir 90% produksi udang nasional diperuntukkan bagi ekspor. Setiap tahunnya 2 juta-4 juta ton ikan raib akibat tindak penangkapan ilegal dan 1 juta ton diekspor untuk memenuhi konsumsi negara maju melalui kesepakatan perdagangan bebas dengan Jepang, China, dan AS.
Sementara itu produksi nasional yakni 4, 86 juta ton (2008) telah mendekati ambang batas penangkapan 5,2 juta ton per tahun. Konsumsi ikan nasional 30 kg per kapita masih kalah jauh-dengan Jepang yang luas lautnya seperlima laut Indonesia yakni 125 kg per kapita. Pada momentum Hari Nusantara 2009, segenap nelayan tradisional dan gerakan masyarakat sipil Indonesia yang menaruh peduli terhadap kelautan dan perikanan menegaskan pentingnya keadilan perikanan.
Kami meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mulai melakukan empat hal berikut, pertama, mengenyahkan paradigma daratan dalam proses pembangunan bangsa. Pasalnya, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang dijalankan sejauh ini justru berpatok pada pola daratan, seperti pengkavlingan laut. Kedua, membatalkan upaya pengrusakan ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang merupakan produk Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP3K), Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2008 tentang Pelegalan Penggunaan Trawl di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, dan kluster perikanan yang diatur dalam Peraturan Menteri No, 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Ketiga, menghentikan ekstraksi bahari tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah rentan oleh karakteristik biogeografis. Keempat, meningkatkan daya adaptasi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil ini menjadi dasar untuk menanganinya secara adil dan mengikat, utamanya dalam penemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP XV) di Kopenhagen, Denmark.
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan