KOPENHAGEN TERANCAM GAGAL
Negara Berkembang Walkout
KOPENHAGEN (SI)-Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen terancam gagal setelah negara-negara berkembang melakukan walkout selama lima jam.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon, kemarin, langsung memperingatkan para negosiator untuk bergerak cepat. Situasi perundingan kian genting saat China menuduh Bardtmelakukantipudayadan mencoba menyalahkan Beijing untuk semua kegagalan di Kopenhagen.
""Waktu semakin habis,"" papar Ban di New York sebelum menuju Kopenhagen, kemarin.
Sejumlah menteri mengaku telah mulai melakukan langkah besar sebelum Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dan 120 pemimpin negara lainnya berkumpul di puncak acara perundingan tersebut.Obamayangnega-ranya merupakan emiter gas rumah kaca terbesar kedua di dunia itu menyatakan ingin agar negosiasi menghasilkan ""langkah-langkah berarti.""
Namun, Ban memperingatkan bahwa kegagalan perundingan ada di u jungmata, j ika semuanyaharus diserahkan pada para pemimpin negara. ""Jika semuanya diserahkan pada para pemimpin di menit terakhir, kami berisiko memiliki kesepakatan yang lemah atau tidak ada kesepakatan pada semua hal. Hal ini akan menjadi kegagalan yang berpotensi menghasilkan bencana,"" tegas Ban.
Konferensi iklim ini terancam gagal padaSenin(14/12)saat negara-negara Afrika memimpin boikot kelompok kerja negara-negara berkembang. Mereka kembali ke perundingan setelah ada jaminan bahwa konferensi
tingkat tinggi tidak akan mengesampingkan pembicaraan mengenai masa depan Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto disepakati pada 1997 untuk memotong emisi gas rumah kaca. Sayangnya.AS tidak bersedia menandatangani pakta tersebut. Sejumlah negara maju telah mera tif ikasinya, tapi beberapa negara berkembang ada yang belum meratifikasi.
Negara Afrika menuduh negara kaya mencoba menghentikan Protokol Kyoto yang mewajibkan banyak negara industri mengurangi emisi hingga 2012. ""Kami sedang membicarakannya lagi,"" papar Kemal Djemouai, delegasi Algeria yang memimpin negara-negara Afrika dalam pertemuan 7-18 Desember itu.
Kini, perundingan di Kopenhagen diwarnai perselisihan antara AS dan China. Negara Asia yang menjadi emiter gas rumah kaca terbesar di dunia itu terus mendesak negara-negara kaya, terutama AS, untuk membantu negara berkembang memerangi perubahan iklim.
Selain itu, China menegaskan, negara-negara miskin harus mendapat prioritas alokasi dana dari negara maju untuk memerangi perubahan iklim.Itu artinya, China juga harus mendapatkan alokasi dana tersebut.
Menurut juru bicara Merdu China He Yafei, Jiang Yu, Beijing fokus pada masalah khusus pada sedikit negara maju, negara-negara Afrika, dan negara-negara pulau kecil. ""China ingin memberi
prioritas pada negara-negara tersebut untuk mendapatkan dana bantuan dari negara-negara maju,"" tutur Jiang.
Perang mulut antara China dan negara-negara maju pun tak terhindari selama perundingan di ibu kota Denmark tersebut. Menurut Beijing, negara maju harus memimpin tindakan pengurangan emisi dan memberikan dana serta bantuan teknis pada negara-negara miskin.
""China yang mengandalkan padasumberdayanya sendiri, telah melakukan banyak langkah dan membuat prestasi besar. Jika kami tidak mendapatkan dukungan internasional, saya yakin China dapat melakukan kerja lebih baik dalam melindungi lingkungan global serta memerangi perubahan iklim,"" tegas Jiang.
Gedung Putih menjelaskan, Obama berkomitmen mendorong munculnya kesepakatan yang memerlukan langkah berarti dari semua negara. ""Namun tidak diragukan, ada isu-isu yang masih belum dapat diselesaikan untuk beberapa waktu,"" kata juru bicara Gedung Putih Robert Gibbs.
Perundingan saat ini berusaha mencari solusi mengatasi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh pembakaran batu bara, minyak, dan gas yang mampu menahan sinar Matahari dan memanaskan atmosfer.
Penelitiiklimmenururkan,jika tidak ada langkah besar dalam dekade ke depan, Bumi akan mengalami pemanasan yang dapat mengakibatkan kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut hingga mengakibatkan bencana kelaparan dan kesengsaraan bagi jutaan orang. (AFP/Rtr/syarifudin)