RI BELUM PUAS HASIL KOPENHAGEN
DUBAI (SI) - Indonesia belum puas atas hasil keputusan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang terwujud dalam Kesepakatan Kopenhagen. Selain karena hal itu tidak mengikat, Indonesia juga kecewa dengan kesepakatan mengenai skema pembiayaan negara maju kepada negara berkembang sebesar USD10 miliar dalam tiga tahun.
Padahal, Indonesia telah mengusulkan, dana ideal yang harus dikucurkan untuk mendukung pengurangan emisi karbon bagi negara berkembang idealnya USD25-35 miliar per tahun sampai 2012. Pemberian dana sebesar USD I0 miliar masih jauh dari cukup untuk mencapai target 26% pengurangan emisi karbon.
""Itu yang saya tetap tidak puas dan bantuan hanya USD10 miliar meskipun nanti tahun 2020 baru akan ada dana USD 100 miliar. Bagi saya itu belum cukup. Padahal ini untuk menyelamatkan bumi, namanya cost of crisis saja USD 6 triliun,"" ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika transit di Dubai dalam perjalanan pulang dari Kopenhagen menuju Jakarta.
Meski belum puas, Presiden merasa senang karena lima usulan Indonesia yang disampaikan saat pidato Jumat lalu masuk dalam rumusan Kesepakatan Kopenhagen.
""Bagi Indonesia, ini berita baik bahwa tidak ada (satu pun usulan Ri) yang dibuang dan ditinggalkan karena semua itu melengkapi. Kopenhagen membawa jalur yang resmi. Tahun depan pekerjaan rumah kita semua memasukkan apa yang belum dicapai di Kopenhagen ini untuk dituntaskan,"" tandasnya.
Presiden SBY dan rombongan Sabtu pagi waktu setempat meninggalkan Kopenhagen setelah tiga hari menghadiri KTT Perubahan Iklim. Saat konferensi berlangsung, Presiden menyampaikan lima rekomendasi demi konsensus perubahan iklim.
Saat Presiden dan rombongan meninggalkan Kopenhagen, rapat pleno Penemuan Para Pihak (COP 15) masih berlangsung. Untuk mengetahui hasil akhir dari keputusan pertemuan konferensi ini, Presiden SBY menelepon Menlu Marty Natalegawa dan Ketua Delegasi untuk Indonesia dalam COP 15 Rachmat Witoelar yang masih berada dalam penemuan itu.
Setelah konferensi selesai, menurut Presiden, pemerintah akan mengimplementasikan isi Kesepakatan Kopenhagen. Di samping rencana aksi nasional, gubemur di seluruh daerah juga harus bisa mewujudkan aksi tersebut. Tindakan yang diambil tidak harus menunggu protokol yang baru, yang akan dirumuskan tahun 2012 mendatang sebagai pengganti Protokol Kyoto.
""Tidak perlu menunggu protokol baru, kita harus terus bergerak. Dengan sikap kita yang kritis, tapi kooperatif dan tidak konfrontatif, kita bisa mendapatkan kerja sama yang baik. Indonesia harus melangkah dan melangkah, bergerak agar tidak menyia-nyiakan protokol itu,"" tambahnya.
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa akan kembali digelar Desember tahun depan di Meksiko dalam COP 16. Sebelumnya juga akan dilakukan pertemuan antara yang sifatnya lebih substantif di Jerman.
Presiden berharap, negara lain bisa meniru Indonesia untuk tidak setengah hati dalam melakukan sebuah negosiasi demi tercapainya konsensus yang menyelamatkan miliaran manusia akibat perubahan iklim.
Presiden menambahkan, tahun depan Indonesia akan terus aktif berkontribusi agar pertemuan mendatang bisa benar-benar bulat dalam mewujudkan sebuah kerangka baru. ""Akhir 2010 bisa kita siapkan kerangka yang lebih lengkap menuju 2012 ketika Protokol Kyoto berakhir,"" tandasnya.
Presiden SBY dan rombongan tiba kembali di Tanah Air pagi kemarin pukul 09.55 WIB. Setibanya di Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta, Presiden SBY langsung menggelar rapat terbatas. Rapat itu dihadiri Wapres Boediono, Menkopolhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Harta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, dan seluruh menteri serta gubernur yang ikut dalam rombongan kunjungan kerja Presiden ke Eropa.
Rapat tersebut membahas implementasi untuk mewu judkan Kesepakatan Kopenhagen, terutama di setiap daerah yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas.
Para gubernur yang hadir dalam rapat terbatas itu adalah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, Gubemur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin, Gubernur Riau Rusli Zaenal, Gubernur Kalbar Cornelis, Gubernur Kalteng Teras Narang, Gubernur Kaltim Awang Faroek, Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang, dan Gubernur Papua Barat Abraham Oktavianus Atuturi.
Sisakan Kritik
Sementara itu, hasil KTT Perubahan Iklim menyisakan kritik dari sejumlah elemen masyarakat dunia. Sebuah analogi muncul dan menyebutkan bahwa hasil KTT kali ini ibarat kereta api yang hancur dalam gerakan lambat.
Sejumlah kolumnis turut memberikan analisis terhadap KTT Perubahan Iklim Kopenhagen. Banyak yang menyebutkan ""KTT telah gagal"", ada pula yang mendesak para pemimpin negara untuk segera melakukan aksi nyata demi perbaikan bumi.
Para pemimpin negara menanggapi kritik ini seraya menegaskan bahwa Kesepakatan Kopenhagen merupakan hasil terbaik yang dapat mereka berikan demi bumi yang lebih sehat. Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang menghadiri KTT Perubahan Iklim tepat di hari terakhir menyatakan bahwa negara-negara dengan tingkat polusi tertinggi di dunia akan segera mengusahakan sesuatu demi mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik lagi.
Obama yang kini telah kembali ke Gedung Putih mengingatkan bagaimana upaya para pemimpin negara untuk menghasilkan Kesepakatan Kopenhagen. Menurut Obama, Kesepakatan Kopenhagen merupakan hal krusial yang membutuhkan negosiasi yang rumit dan sukar.
Jika Obama cukup lunak menanggapi kritik, Kanselir Jerman Angela Merkel hadir dengan rangkaian kalimat tegasnya. Merkel menuturkan bahwa kritik yang dilontarkan terhadap para anggota konferensi hanya akan menahan upaya para pemimpin negara untuk mengatasi pemanasan global. Merkel mengingatkan, jika kenaikan suhu tidak dapat ditangani dengan cepat, bencana banjir, badai, dan musim kemarau berkepanjangan tidak akan terhindarkan.
Merkel meminta semua pihak untuk menghargai dan saling bekerja sama untuk mewujudkan kondisi iklim yang lebih baik. ""Ini (Kesepakatan Kopenhagen) merupakan langkah awal untuk memerangi perubahan iklim. Tidak ada tujuan lain,"" ujarnya kepada surat kabar BildamSonntag.
Tampaknya Merkel mulai jengah dengan kritik yang terus saja menghinggapi para peserta Kopenhagen. ""Mereka yang melayangkan kritik terhadap Kesepakatan Kopenhagen sama artinya dengan mereka yang memilih mendirikan blokade dibandingkan maju untu k melawan perubahan iklim,"" imbuhnya.
Sebagai negara dengan tingkat polusi terbesar di dunia, China memberi sambutan hangat terhadap hasil kesepakatan Kopenhagen.""Konferensi telah melahirkan hasil yang signifikan dan positif,"" ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) China Yang Jiechi dalam sebuah kesempatan.
Berbeda dengan China, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menyatakan bahwa KTT Perubahan Iklim Kopenhagen telah gagal menghasilkan konsensus global. Ban Ki-moon menyadari bahwa apa yang telah dihasilkan dalam KTT lalu akan menuai aksi demonstrasi dalam skala yang lebih besar dari sebelumnya. ""Beberapa pihak menyatakan bahwa KTT ini merupakan ambisi yang tidak ada artinya. Yang jelas, kami telah menghasilkan sesuatu bagi bumi,"" ungkapnya.(rarasati syarief/ AFP/BBC/anatasiaika)