PIDATO IKLIM SBY KONTRADIKTIF
JAKARTA: Pidato perubahan iklim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kopenhagen, Denmark dinilai kontradiktif dengan rencana tata ruang daerah dan peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan.
Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, mengatakan pasalnya terdapat 17,91 juta hektare areal bertegakan hutan yang telah dialokasikan dan dicadangkan untuk dikonversi menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan.
""Untuk itu, Greenomics meminta kejelasan sikap Presiden Yudhoyono atas status areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektare itu,""ujarnya kemarin menanggapi pidato perubahan iklim Presiden Yudhoyono di Kopenhagen minggu lalu.
Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono mendeklarasikan Indonesia akan memangkas emisi karbon sebesar 26% hingga 2020, dan bahkan hingga 41% jika ada bantuan internasional.
Pertanyaan mendasar dari target pemangkasan emisi tersebut, jelas Elfian, adalah bagaimana dengan rencana konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektare yang secara legal telah dialokasikan dan dicadangkan oleh rencana tata ruang di daerah-daerah, apakah diteruskan sesuai dengan rencana tata ruang tersebut atau dibatalkan.
""Jika rencana konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektare tersebut tetap diteruskan, penurunan emisi sebesar 26% hanya sebagai retorika saja, apalagi penurunannya hingga 41%, karena salah satu penyumbang emisi terbesar adalah perubahan status dari kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan,"" ujar Elfian.
Data Rekalkulasi Penutupan Lahan (Departemen Kehutanan, 2008) menunjukkan terdapat 7,08 juta hektare areal yang masih bertegakan hutan yang statusnya sudah dilepas dari kawasan hutan dan saat ini siap untuk dikonversi secara legal. Adapun areal kawasan hutan yang dicadangkan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan mencapai 10,83 juta hektare.
""Bayangkan, dari 17,91 juta hektare tersebut, seluas 6,14 juta hektare adalah hutan primer, dan 11,77 juta hektare adalah hutan sekunder,"" papar Elfian.
Elfian menilai jika Presiden Yudhoyono tidak mengizinkan proses konversi terhadap areal yang masih bertegakan hutan, Presiden harus meminta para kepala daerah untuk merevisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten/kota terkait serta meminta Menteri Kehutanan untuk merevisi Peta Penunjukan Kawasan Hutan, dengan cara memasukkan kembali areal 17,91 juta hektare tersebut menjadi kawasan hutan tetap (permanent forest).
Jika proses revisi tata ruang dan peta penunjukan kawasan hutan tersebut tidak dilakukan, jelas Elfian, praktik konversi areal bertegakan hutan seluas 17,91 juta hektare tersebut akan terjadi secara legal.
""Kami tidak yakin para kepala daerah mau membatalkan rencana tata ruangnya untuk tidak mengonversi areal yang masih bertegakan hutan, karena areal tersebut sudah dialokasikan dan dicadangkan untuk dikonversi. Para kepala daerah pasti berargumentasi bahwa mereka perlu lahan untuk tujuan investasi, seperti untuk perkebunan sawit, dan lain sebagainya,"" ujar Elfian.
Kecaman Greenpeace
Sementara itu, Greenpeace mengecam keras arogansi para pemimpin dunia dari negara-negara terkuat dunia yang menawarkan kesepakatan 'ambil atau tinggalkan' di Pertemuan Iklim PBB Kopenhagen.
Dalam perjalanan pulang ke bandara mereka mengklaim perjanjian telah disepakati, tetapi sebenarnya tidak.
""Yang mereka tinggalkan adalah kekacauan dan kebingungan akibat kiprah mereka,"" ujar Eksekutif Direktur Greenpeace Internasional Kumi Naidoo.
Bekerja keras semalaman para juru runding berjuang untuk memahami status perjanjian yang disebut ""Copenhagen Accord"" saat Pertemuan Kopenhagen berakhir dengan kegagalan, inkoheren dan penuh konflik.
Kumi Naidoo mewanti-wanti dunia menghadapi krisis tragis kepemimpinan. Dibanding bekerja sama untuk menyelamatkan nasib ratusan juta orang dengan sebuah kesepakatan bersejarah yang mampu mencegah bencana iklim, para pemimpin dari negara-negara terkuat dunia malah mengkhianati masa depan generasi mendatang. ""Kini mencegah bencana iklim menjadi jauh lebih sulit,"" tuturnya.
Kesepakatan Kopenhagen dipuji segelintir orang sebagai langkah maju. Sebenarnya tidak. Bahkan ini pun tidak secara formal diadopsi oleh Conference of the Parties (COP). (martin.sihombing@bisnis.co.id)