KERAGAMAN HAYATI DALAM ANCAMAN
Manusia adalah penyebab terbesar kepunahan spesies lain.
Oleh Wulan Tunjung Palupi
Sadarkah Anda, perlahan tapi pasti keragaman hayati di sekeliling kita mengalami perubahan? Kepunahan merupakan ancaman nyata bagi berbagai makhluk hidup. Sayangnya, kepunahan yang menimpa puluhan bahkan ratusan spesies hewan dan tumbuhan di seluruh dunia bukanlah karena seleksi alam, di mana yang kuat yang menang. Lantas? Kepunahan itu lebih karena seleksi buatan manusia, di mana yang tak terjamah tangan manusia yang bisa bertahan hidup.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan, banyaknya spesies yang hilang dapat memengaruhi kondisi kehidupan manusia. Delapan tahun lalu, banyak negara berjanji untuk mengurangi angka hilangnya keanekaragaman hayati. Namun, janji itu hampir dapat dipastikan tak terwujud.
Melebarnya kota-kota, lahan pertanian, dan infrastruktur merupakan alasan utama sulitnya menahan kerusakan keanekaragaman hayati. PBB juga melaporkan, saat ini sistem alami seperti hutan dan lahan basah telah rusak. Proses alami seperti pemurnian udara dan air juga hilang.
Demi meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap punahnya sejumlah spesies dan dampaknya terhadap kualitas kehidupan manusia, PBB mendeklarasikan tahun 2010 sebagai Tahun Keanekaragaman Hayati Internasional. ""Di Tahun Keanekaragaman Hayati ini, saya menyeru setiap negara dan warga planet ini untuk berkomitmen dalam aliansi global demi melindungi kehidupan di bumi,"" ujar Sekjen PBB Ban Ki-moon ketika secara resmi meluncurkan kampanye Tahun Keanekaragaman Hayati Internasional di Berlin, Jerman, belum lama ini.
Sekjen PBB juga mengungkapkan, manusia adalah penyebab terbesar kerusakan dan kepunahan spesies lain, 1.000 kali lebih cepat dibanding kepunahan secara alami. ""Kita tidak dapat membiarkan hal ini terjadi terus menerus.
""Menyelamatkan keragaman spesies yang ada di alam seharusnya merupakan langkah positif setelah KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen belum lama ini gagal menyepakati aturan yang mengikat untuk memperbaiki lingkungan. Untuk itu, saat ini pemerintah di seluruh dunia diminta membuat langkah yang tegasintuk melindungi hutan, daerah aliran sungai (DAS), terumbu karang, dan bagian ekosistem layinya. ""Ini alarm buat kita semua,"" tegasnya.
Krisis kepunahan
PBB sebenarnya pernah memiliki konvensi mengenai keragaman hayati yang ditandatangani pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992. Konvensi ini ditegaskan kembali pada pertemuan serupa di Johannesburg, Afrika Selatan pada 2002 di mana para kepala pemerintahan berjanji melakukan pengurangan signifikan kepunahan spesies pada 2010.
Namun, janji tinggal janji. Kenyataan yang ada menunjukkan, kepunahan bukannya dapat ditahan, malah melaju dengan cepat. ""Kita sedang menghadapi krisis kepunahan,"" ujar Jane Smart, direktur International Union for Conservation of Nature (IUCN), sebuah organisasi lingkungan internasional.
World Wildlife Fund (WWF) mencatat, spesies yang terancam punah karena berbagai sebab sangat banyak, mulai dari tuna sirip biru, beruang laut Pasifik hingga kupu-kupu Monarch. Dalam survei yang dilakukan terhadap 47.677 jenis hewan dan tumbuhan yang tergolong daftar merah didapati 17.291 spesies yang terancam punah alias hilang dari muka bumi.
Dibandingkan dengan 2008, dalam survei kali ini, jumlah spesies yang terancam punah mengalami peningkatan sebanyak 2.800 spesies. Beberapa spesies yang terancam punah itu antara lain dua jenis kadal yang ditemukan belum lama ini di Filipina, juga katak pohon Panama yang amat langka.
Seperlima spesies yang terancam punah merupakan jenis mamalia dan sebagian lagi merupakan jenis reptil. Craig-Hilton Taylor, yang mengelola daftar itu, mengatakan, apa yang terdata hanyalah puncak gunung es dari kondisi di alam sebenarnya. Artinya, jumlah spesies yang terancam punah bisa jadi lebih banyak dari itu, tetapi tidak terdata dalam survei.
Dalam daftar merah itu disebut juga harimau yang diperkirakan populasinya kini hanya sekitar 3.500 ekor. Keberadaan harimau di Asia, termasuk Indonesia, diyakini dalam kondisi sangat terancam karena perburuan liar, konversi lahan, dan pembukaan hutan. bbc/iucn. ed wachidati