KERANG MANUK, MENYAMBUNG DAN MEMUTUS HIDUP
Oleh: Aulia Rahman
Ruang belakang rumah Pak Rokhman (50 tahun) berukuran 3 x 3 m persegi. Ruangan yang tidak besar itu kian sempit oleh kandang ayam yang bertumpuk di sisi sebelah kanan. Di seberangnya, tumpukan jaring robek dan ‘balon’--sebutan untuk sarung tangan yang terbuat dari bahan lateks--tampak sudah usang dan enggan digunakan. Tanah yang diinjak-injak nyaris hilang tidak kentara, hanya bunyi gemeretak cangkang berbagai macam jenis kerang yang telah memutih. Ceceran cangkang tersebut berasal dari sekitar 5 jenis kerang yang didapat Pak Rokhman, seorang nelayan asli Jawa yang logatnya sudah membaur dengan logat Madura. Rumah Pak Rokhman terletak di Jalan Cumpat, Kelurahan Bulak Banteng, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya, dihuni lebih dari tujuh jiwa. Pernikahan Pak Rokhman dan istrinya dikaruniai 5 orang anak.
Sehari-hari Pak Rokhman menjalankan perahu kapal sewaan. Menurutnya, kapal baru masih tidak terjangkau. Kapal kayu baru yang dapat diawaki oleh 2-3 orang dewasa dihargai 14 juta rupiah. Harga mesin mencapai kisaran 10-15 juta rupiah. Belum lagi kompresor udara yang merogoh kocek 1,5 juta rupiah. Ya, betul! Pak Rokhman merupakan satu dari sekitar 100-150 nelayan di kampungnya. Menurutnya, jumlah kapal di kampung tempat tinggalnya mencapai 50 unit. Nelayan kompresor, sebutan umum untuk nelayan yang menyelam menggunakan kompresor sebagai suplai udara di bawah air, merupakan pekerjaan yang berbahaya. Setelah bertahun-tahun menyelam di kedalaman 3-10 meter dengan bantuan kompresor, para nelayan ini dapat dipastikan menyandang cacat pendengaran (tuli).
“Kalau bicara rodho banter (agak keras-red), mas!” pinta Bu Rokhman kepada tim WWF yang sedang berbincang dengan suaminya saat berkunjung ke kediaman mereka.
Siang menjelang sore menjadi saat-saat sibuk bagi kebanyakan perempuan di kampung itu. Gang-gang sempit yang hanya dapat dilalui motor penuh dengan gledhekan (kereta dorong dengan 2 roda-red) yang bermuatan beberapa ember kerang. Sore itu tim WWF menjumpai dua ember penuh kerang baling-baling (Trisidos tortuosa) serta satu karung nilon yang juga penuh dengan jenis yang sama. Jenis lain yang juga ikut ditangkap, antara lain Kerang Manuk (Atrina pectinata), Kerang Kukur (Tegillarca granosa), serta Kerang Bulu (Anadara ovalis). Satu ember penuh dapat mencapai berat 8-10 kilogram, sementara yang karung dapat mencapai 10-15 kilogram.
“Lumayan mas, penghasilane iso gae nguripi anak sampe sekolah kabeh! (lumayan mas, penghasilannya dapat mencukupi semua kebutuhan anak untuk sekolah-red),” tutur Bu Rokhman. “Yang paling besar saiki wes kerjo (sekarang sudah kerja-red), lulusan SMA.”
Bagi perempuan lain yang bekerja untuk membantu mengupas kerang yang sudah direbus, mereka mendapatkan uang sekitar 8 ribu rupiah per ember. Sementara harga jual setiap jenis kerang kepada pengepul berbeda-beda. Bonggol (bagian otot di dalam) kerang manuk dihargai 21 ribu rupiah per kilogram, sebaliknya bagian daging lainnya tidak terlalu laku di pasaran. Kerang baling-baling, dinamai seperti ini karena bentuk cangkangnya menyerupai baling-baling, dihargai 11 ribu per kilogram kupasan. Bagi keluarga Pak Rokhman dan keluarga lainnya di kampung tersebut, pemasukan harus kembali diatur untuk membeli 5 liter bensin setiap hari untuk mesin kapal dan kompresor, perawatan peralatan, sewa kapal, biaya makan sehari-hari, biaya sekolah anak-anak, dan biaya tak terduga lainnya.
“Nggih mas, ponakan kulo pejah wulan wingi, pas slulup onok kapal lewat, selange kepedhot! (iya mas, keponakan saya meninggal bulan kemarin, sewaktu menyelam ada kapal lewat dan memutus pipa udaranya!)” tutur Bu Rokhman. Mengurus jenazah dan kematian merupakan contoh hal tak terduga yang disampaikan oleh mereka. Tidak ada air mata yang berkaca-kaca di wajah Bu Rokhman, yang ada hanya keringat yang terus mengucur deras dan tidak kunjung menguap meski terik mentari masih cukup panas. Guratan otot dan kulit yang legam menyampaikan bahwa hidup ini memang keras, namun mengeluh dan menjadi cengeng bukan jawaban.
Sepetak tanah di belakang rumah menjadi saksi bahwa dapur harus terus mengepul. Tabung elpiji hijau 3 kilogram ikut menemani pembicaraan sore itu dengan keluarga Pak Rokhman. Sesekali kokok ayam juga ikut menyambung obrolan kami. Bu Siti Chotimah, seorang aktivis dan fasilitator kampung yang juga Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) serta menjabat sebagai Presiden Wilayah Pemberdayaan Perempuan Wilayah Jawa Timur, menemani tim WWF dalam pengkajian awal membangun aktivitas pemanfaatan kerang secara berkelanjutan hari itu. Bu Siti adalah fasilitator lokal bagi Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur (KPI-Jatim). KPI-Jatim merupakan mitra penting Program Perikanan WWF-Indonesia di Surabaya. Terbentuknya Jaringan Kerja Perikanan Bertanggung Jawab (JARING Nusantara), sebuah forum yang beranggotakan entitas-entitas di seluruh wilayah Nusantara, menjadi hasil dari inisiasi Program Perikanan WWF-Indonesia dalam mengakselerasi ketersediaan produk-produk perikanan melalui skema-skema Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk komoditas budidaya. JARING Nusantara dideklarasikan pada 2 Februari 2013 di Bogor oleh 13 anggota, termasuk WWF-Indonesia dari 9 wilayah di Indonesia.
Kontak:
Abdullah Habibi, Koordinator Perikanan Tangkap WWF-Indonesia, email: ahabibi@wwf.or.id