PENELITIAN: ALAT ADVOKASI DI KAWASAN KONSERVASI KAYAN MENTARANG
Oleh: Christina Eghenter
Salah satu faktor penentu pendorong perubahan status kawasan konservasi Kayan Mentarang dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional pada tahun 1996 adalah hasil penelitian Program “Kebudayaan dan Pelestarian Alam.”
Penelitian tersebut adalah buah kerjasama Ford Foundation dan WWF-Indonesia untuk: “...mendokumentasikan dan mendukung hak atas akses masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan pola pengelolaannya dan melengkapi sebuah kajian budaya, sejarah, dan ekologi sumber daya alam untuk daerah pedalaman Kalimantan Timur...”
Saat itu, 30 peneliti termasuk peneliti dan siswa-siswi lokal, dari Kalimantan, nasional dan internasional menggabungkan keahlian, pengalaman, dan bidang studi masing- masing untuk menghasilkan banyak kajian budaya dan tradisi komunitas di kawasan Kayan Mentarang, hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alam (terutama dalam soal pemanfaatan lahan dan tumbuhan), serta kajian bahasa, sastra, kesenian, dan sejarah (termasuk peninggalan arkeologi dan kearifan lokal). Dengan demikian, program penelitian ini menggali filsafat ‘konservasi’ yang merupakan dasar penghidupan masyarakat Dayak yang sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya alam.
Selain metodologi standar ilmu sosial yakni kuesioner, participant observation, wawancara, dan beberapa metoda Participatory Rural Appraisal (PRA), durasi program ini menjadi peluang emas mengembangkan metode dan pendekatan baru seperti pemetaan desa partisipatif yang kemudian digunakan oleh masyarakat adat sebagai senjata utama untuk memperjuangkan haknya agar dihargai dalam pengelolaan kawasan Kayan Mentarang.
Program penelitian “Kebudayaan dan Pelestarian Alam” membuktikan bahwa hanya keterlibatan masyarakat lokal bisa menjamin keberlanjutan Taman Nasional Kayan Mentarang dan justru lembaga tradisional, jika didukung dan dikuatkan, akan membantu mengurangi risiko perambahan oleh orang luar serta sekaligus menjaga keamanan kawasan.
Ditambah dengan hasil pemetaan partisipatif, penelitian ini menjadi acuan pemerintah menetapkan TNKM sebagai taman nasional pertama di Indonesia yang dikelola secara kolaboratif berbasis masyarakat pada tahun 2002. Hal ini menjadi pengakuan kuat bahwa masyarakat, khususnya praktik dan kearifan tradisional adalah ‘teman’ bukan ‘musuh’ konservasi, dan pola konservasi terbaik adalah pola yang melibatkan masyarakat terutama yang secara historis dan adat memiliki wilayah dan kehidupan masih tergantung pada sumber daya alam.
Penelitian “Kebudayaan dan Pelestarian Alam” bisa dikatakan membawa hasil positif dan bermanfaat membantu masyarakat dan TN Kayan Mentarang menemukan pola pengelolaan dan inovasi yang tepat dan adil bagi alam dan masyarakat.