MEMETAKAN POTENSI KAWASAN LINDUNG DI KEPULAUAN TANIMBAR, MALUKU TENGGARA BARAT
Oleh: Frederik Peter Alan Batkormbawa (Yamdena MPA Representative, WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape)
Maluku Tenggara Barat (MTB) berada di ujung tenggara perbatasan Indonesia dengan Australia dan Timor Leste. Kabupaten ini terdiri atas 113 gugus pulau, dengan luas perairan mencapai 80,94% dari total luas 52.995,20 km2 dan (BPS MTB, 2014).
Berada dalam sabuk segitiga emas terumbu karang dunia, kondisi oseanografi MTB kaya akan sumber daya ikan dan potensi kelautan lainnya (Alansar dkk, 2016). Potensi ini didukung dengan tingginya kerapatan mangrove di pesisir–pesisir pulau.
Hasil perikanan seperti teripang, lola, udang, cumi–cumi, kerapu, tenggiri, lobster, kepiting, kima, kakap, sakuda, cakalang, dan rumput laut menjadi komoditas bagi kabupaten ini.
MTB adalah bagian dari Gugus Pulau Sepuluh dalam strategi pengembangan wilayah Provinsi Maluku. Hewan ETP seperti penyu, dugong, pari manta, hiu, lumba – lumba, dan paus menjadikan MTB sebagai area pakan (feeding area) dan jalur migrasi menuju Australia, Papua, dan Samudera Pasifik.
Untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam tersebut, KKP3K-TPK Kabupaten Maluku Tenggara Barat pun dicadangkan melalui Surat Keputusan Bupati Maluku Tenggara Barat Nomor 523-246 Tahun 2016. Pencadangan KKP3K-TPK Kabupaten MTB ini mendukung komitmen pemerintah Indonesia menjadikan Provinsi Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan pencapaian nasional kawasan konservasi sebesar 20 juta hektar di tahun 2020.
Untuk mencapai target tersebut, WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape (IBAS) pun mendukung Pemerintah MTB untuk mengidentifikasi kawasan–kawasan perairan yang potensial untuk konservasi di MTB.
Kriteria kawasan harus melindungi habitat pakan dari biota ETP, dan melindungi pemanfaatan tradisional dan kearifan lokal. Identifikasi ini dilakukan melalui survei yang didukung dengan studi literatur dan analisis spasial.
Survei ini menghasilkan data kondisi ekologi, profil desa, pemanfaatan sumber daya laut, dan tata kelolanya. Setelah itu, data akan diubah menjadi data spasial yang dianalisis menggunakan perangkat lunak sistem pendukung pengambilan keputusan Marxan dan Zonae Cogito untuk mengidentifikasi lokasi – lokasi yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi.
Marxan membantu memilih kawasan lindung dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi dengan biaya pengelolaan yang rendah. Sedangkan Zonae Cogito membantu memodifikasi skenario yang telah dijalankan oleh Marxan (Watts et al. 2011).
Wilayah analisis oleh WWF meliputi perairan wilayah Kepulauan Tanimbar dan sekitarnya yang terdiri dari 10 kecamatan. “Dari hasil analisis Marxan pada area kajian tersebut, kawasan lindung terbaik yang direkomendasikan adalah Kecamatan Wermaktian, Tanimbar Utara, Yaru, Tanimbar Selatan, Wertamrian, dan Kecamatan Wuarlabobar,” jelas Andreas Hero, Project Leader WWF-Indonesia untuk Inner Banda Arc Subseascape (IBAS).
Potensi hasil perikanan yang tinggi, kondisi ekologis yang unik dan alami, banyaknya gugusan pulau, dan akses yang mudah dijangkau sehingga memudahkan upaya pengawasan; menjadi alasan pemilihan 5 kecamatan ini.
Total luasan Kawasan Konservasi Perairan dan Pulau – Pulau Kecil Taman Pulau Kecil (KKP3K-TPK) Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang direkomendasikan oleh WWF sebesar 783.806 hektar, dengan tujuan konservasi perlindungan 30% habitat kritis.
“Tantangan ke depannya itu adalah masalah pengawasan dan kesadaran masyarakat. Masyarakat sudah banyak tahu, tetapi kita harus terus menerus memberikan pemahaman akan konservasi,” ungkap Ir. V. Batlayeri, Kepala Dinas Perikanan MTB. “Tanpa konservasi, beberapa tahun ke depan, ikan kita ini semuanya habis,” tambahnya.
Cukup luas usulan wilayah untuk KKP3K-TPK Kabupaten MTB ini. Harapannya, 783,806 hektar tersebut dapat memberikan ruang bagi perlindungan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir dan lautnya.