MASYARAKAT PULAU HOAT PELAJARI CARA SELAMATKAN POPULASI PENYU PERAIRAN KEI
Oleh: Muhamad Iqbal (Fisheries Assistant, WWF-Indonesia Inner Banda Arc Sub-Seascape )
Pulau Hoat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara disebut-sebut sebagai ‘rumah kebun’ bagi pembudidaya rumput laut kotoni di Ohoi (desa) Debut dan sekitarnya. Tak hanya itu, Pulau Hoat juga merupakan tempat pendaratan bagi penyu-penyu di gugus Pulau Sepuluh, Kepulauan Kei.
Jejaring Kelompok Penyu Lestari, kelompok pembudidaya rumput laut binaan WWF-Indonesia, tak sekedar memanfaatkan pesisir sebagai wilayah budidaya. Lebih dari itu, mereka berkomitmen untuk turut menjaga lingkungan dan biota laut dilindungi, terutama penyu.
“Banyak penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) naik dan bertelur di beberapa pulau di pesisir Pulau Hoat dan sekitarnya,” tutur anggota Jejaring Kelompok Penyu Lestari pada kami. “Sering kami berinisiatif memindahkan telur-telur penyu ke tempat yang terlindung dan aman, agar tidak terendam air,” lanjutnya.
Memang, pendeknya garis pantai Pulau Hoat dan tingginya tingkat abrasi di sana mengharuskan penyu bertelur di dekat area pasang surut. Hal ini menyebabkan banyak sarang terendam air dan busuk. Namun, pengetahuan masyarakat yang masih minim tentang penanganan penyu tidak jarang malah membuat telur-telur penyu tersebut tidak bertahan.
Kesadaran masyarakat memang harus didukung dengan pengetahuan yang mumpuni. Karenanya, pada 5-6 April 2017 lalu, WWF-Indonesia mengadakan Pelatihan Penanganan dan Penyelamatan Penyu di Perairan Kei.
Pelatihan ini melibatkan beberapa instansi terkait dari Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Tak hanya memperkaya pengetahuan masyarakat, pelatihan ini juga sangat dibutuhkan seluruh instansi terkait. Sehingga, dapat meningkatkan harapan hidup penyu di Perairan Kei, dan menekan tingkat perburuan dan konsumsi hewan ini. Ya, perburuan penyu hijau untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan di pasar tradisional memang masih menjadi polemik di kepulauan ini.
Mengambil lokasi di Kota Tual dan Pulau Hoat, pelatihan ini membekali masyarakat dengan kemampuan penanganan terbaik bagi telur penyu dan tukik yang telah menetas. Tentunya, agar mereka dapat bertahan hidup, dan kelak kembali ke Pulau Hoat untuk bertelur.
Pengetahuan mengenai penanganan dan penyelamatan penyu masih menjadi ilmu baru bagi masyarakat. Selama ini, penanganan dan pelepasan penyu hanya sebagai acara simbolis semata, tanpa mempedulikan efek ke depannya bagi penyu.
Kabar baiknya, upaya peningkatan kapasitas masyarakat dan instansi terkait ini disambut baik oleh seluruh stakeholder. Harapannya, setelah ini, semakin mudah langkah masyarakat dan instansi pemerintah dalam menjaga populasi penyu di Pulau Hoat dan sekitarnya.