WWF AJAK WARTAWAN IKUT MEMBUKA MATA INDONESIA TENTANG KONSERVASI DUYUNG DAN LAMUN
Oleh: Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
“Bumi Alor ini bumi persahabatan. Alor adalah surga di timur matahari. Tuhan dan leluhur izinkan kami hidup di pulau ini, makan dari tanah ini,” Bupati Alor, Aman Djobo, berdiri bersisian dengan Arifin Putra di depan kantornya (27/11), di depan beberapa kamera kami yang tengah mengambil gambar untuk video promosi konservasi ekosistem pesisir di SAP Selat Pantar dan Perairan Sekitarnya, Kabupaten Alor.
“Maka keindahan dan anugerah ini harus kami jaga dan rawat untuk masa depan, karena alam dan manusia saling ketergantungan,” lanjut ia menunjukkan kesungguhan. Alor 1 ini kemudian menjabat haru tangan Arifin dan menyampaikan apresiasinya.
Dalam perannya sebagai Duta Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP), Arifin menemukan keindahan “surga di timur matahari” ini justru bukan semata-mata dari pesona duyung langka yang mendiami Pantai Mali. Tetapi juga dari kekayaan budaya, keramahtamahan penduduknya, dan betapa memesona beningnya perairan Alor bahkan di sepanjang satu-satunya jalan raya yang menghubungkan ibukota Kalabahi hingga Alor Kecil itu.
Hal itu juga yang Arifin sampaikan pada rekan-rekan wartawan dari Mahensa Express, Teropong Alor, Warta Alor, NTTupdate, Kalabahi Pos, dan Metro Alor yang hadir pagi itu (28/11) di Hotel Pulo Alor. Kami mengumpulkan wartawan Alor untuk berdiskusi mengenai konservasi duyung dan lamun bersama WWF dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Alor. Pada kesempatan ini, Arifin juga memaparkan kode etik berinteraksi (code of conduct) dengan duyung.
“Duyung di Alor memiliki karakteristik yang unik, berbeda dengan umumnya duyung yang malu-malu untuk muncul,” kata Casandra Tania (Marine Species Officer, WWF-Indonesia). “Justru keunikan inilah yang menjadi tantangan agar ia dilindungi dan dikelola dengan baik tanpa melupakan hakikat duyung sebagai satwa liar di alam,” ucap Arifin menimpali.
Diskusi pagi itu cukup hidup dengan fokus pada tantangan pengelolaan duyung di Alor ini ke depannya. Sama halnya dengan kami, para wartawan ini mengkhawatirkan masa depan pengelolaan duyung. Berbagai saran mereka lontarkan, misalnya pengaturan jadwal kunjungan resmi agar duyung tidak kelelahan, hingga penekanan kebutuhan regenerasi dan kaderisasi penjaga duyung di Pantai Mali. Rekan media juga mempertanyakan kejelasan status pelimpahan kewenangan pengelolaan ke tingkat provinsi. “Harapannya, pada 2018 nanti, sudah ada langkah nyata pengelolaan dari tingkat provinsi untuk SAP Selat Pantar ini,” pungkas Rahmin Atapala, Kepala DKP Kabupaten Alor.
Hari berikutnya (29/11), kami juga menyempatkan diri untuk mengundang rekan-rekan wartawan di Kupang untuk mendiskusikan hal serupa dalam jamuan makan siang bersama DKP Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Dewan Konservasi Perairan Provinsi (DKKP) NTT, dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Wilayah Kerja NTT.
“Diskusi mengenai duyung menarik, ini pertama kalinya digelar di sini,” Kristo, wartawan Timor Express, angkat bicara mewakili rekan-rekan dari Sergap.id, NTTonlinenow, Kupangmedia, Pos Kupang, Victory News, juga para kontributor NET TV, Rajawali TV, Metro TV, RRI, Kompas TV, dan MNC Group. “Saya jadi ingin tahu, berapa banyak sebenarnya populasi duyung dan seberapa penting mamalia ini untuk dilindungi?” tanyanya.
“Duyung sangat dibutuhkan ekosistem lamun, ibarat traktor yang menggemburkan padang lamun, melancarkan siklus energi, sehingga membuatnya subur,” tutur Arifin Putra. “Kehadiran duyung mengindikasikan sehatnya sebuah ekosistem padang lamun. Meski belum ada data populasi dan status duyung di Indonesia, pada April 2016 melalui simposium duyung dan habitat lamun pertama kali oleh DSCP, kami memetakan indikasi persebaran lokasi duyung di 19 provinsi di Indonesia,” timpal Casandra. “Salah satunya, beberapa titik di NTT – namun hanya satu yang benar-benar terkonfirmasi, yaitu di Mali, Alor,” tutupnya.
“Pengelolaan duyung membutuhkan kemitraan bersama – pemerintah, LSM, seluruh stakeholders, dalam mencakup aspek ekologi, sosial ekonomi, dan budaya,” mengutip Ikram Sangaji (DKP Provinsi NTT), yang diaminkan oleh Anton Wijonarno (Marine Protected Area (MPA) for Fisheries Manager, WWF-Indonesia). “Semangat konservasi ada pada kemitraan dan kolaborasi, tidak bisa berjalan sendiri,” tutupnya.
Seperti halnya disebutkan Amon Djobo bahwa Alor adalah bumi persaudaraan, dalam konservasi, semua stakeholders adalah bersaudara. Seperti dalam lego-lego yang kami tarikan bersama Suku Abui di Desa Takpala (27/11), bahwa lirik lagunya bermakna persatuan, sama tanpa membeda-bedakan. Kita semua, sama-sama ingin melindungi ekosistem pesisir di Alor – dan di Indonesia.