#XPDCMBD: SASI, KEARIFAN LOKAL PENGELOLAAN & PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT
Penulis: Hakim Miftakhul Huda (KKP)
Selama mengikuti Ekspedisi Maluku Barat Daya, ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut yang dilakukan oleh masyarakat setempat melalui kearifan lokal. Di Indonesia Bagian Timur, kearifan lokal dikenal dengan nama sasi, yaitu pembatasan pemanfaatan sumberdaya melalui pelarangan pengambilan sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu. Rata-rata komoditas yang masuk ke dalam sasi di kawasan Maluku Barat Daya adalah lola, teripang, dan batulaga.
Biasanya, sasi atau peraturan yang sudah diberlakukan secara turun temurun ini ditegakkan oleh adat istiadat; namun uniknya, beberapa sasi di Maluku Barat Daya banyak yang diberlakukan oleh pemerintah desa, bahkan gereja, karena mayoritas masyarakat setempat beragama Kristen Protestan. Apabila ada yang melanggar atau memanfaatkan komoditas sasi bukan pada waktunya, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi, yang mana sudah disepakati secara bersama-sama sebelumnya. Pada umumnya, sanksi terhadap pelanggar sasi adalah berupa dosa. Selain dosa, di beberapa desa juga ada sanksi lain yang dikenakan bagi masyarakat pelanggar sasi yang berupa denda uang, emas, beras, tembakau/rokok, sopi (minuman keras lokal), dan hewan-hewan seperti kerbau, kambing, dan babi. Denda uang dan emas akan masuk ke kas desa atau gereja, sementara denda yang dapat dikonsumsi akan dinikmati bersama-sama oleh seluruh masyarakat desa. Hingga saat ini, peraturan-peraturan terkait sasi di sebagian besar desa masih belum diatur secara tertulis dan masih dalam bentuk hukum adat. Namun beberapa desa yang saya dan Tim Darat temui selama ekspedisi, mulai merencanakan pembuatan aturan tertulis terkait sasi agar dapat diimplementasikan secara optimal, dan ada beberapa desa juga yang telah mengadopsi peraturan-peraturan adat seperti sasi ke dalam dokumen peraturan desa (Perdes).
Walaupun terkesan ‘mengekang’, sasi dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Secara ekologi, komoditas yang masuk sasi dapat berkembang biak sehingga dapat memberikan hasil yang cukup untuk masyarakat manfaatkan saat memasuki masa pembukaan sasi. Dari sisi sosial, manfaat sasi adalah terdistribusinya hasil sumber daya laut kepada masyarakat setempat yang tinggal di kawasan pemberlakuan sasi. Hasil tersebut dapat dinikmati secara bersama-sama dan terhindar dari monopoli pihak-pihak tertentu. Tidak hanya itu, penghasilan masyarakat tersebut juga dapat meningkat saat masa pembukaan sasi. Hasil yang diperoleh dari sasi juga dapat digunakan untuk kepentingan publik, di mana sebagian dari hasil penjualan komoditas sasi yang diperoleh dari warga dimanfaatkan untuk kepentingan bersama masyarakat desa seperti pembangunan fasilitas ibadah, kantor pemerintahan dan sejenisnya.
Desa Nuwewang, salah satu desa yang saya dan Tim Darat kunjungi hari ini (7/11) di Pulau Letti, merupakan salah satu contoh desa di Kabupaten Maluku Barat Daya yang memberlakukan sasi. Menurut warga Desa Nuwewang, pada saat pembukaan sasi di tahun 2014 silam – setelah masa penutupan dua tahun – hasil sumber daya laut yang diperoleh cukup melimpah, seperti sepuluh ton lola; enam ton teripang; dan satu batulaga. Pembukaan sasi di tahun itu juga berkontribusi pada pemasukan dana untuk desa dan gereja, yang mana masing-masing desa dan gereja mendapatkan dana sebesar 10% dari tiap hasil komoditas.
Tidak hanya unik. Dengan melihat besarnya manfaat sasi dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat, menurut saya sangat penting jika kearifan lokal ini dilestarikan dan dioptimalkan pemberlakuannya.