TERAPKAN GAYA HIDUP HIJAU UNTUK SELAMATKAN BUMI
Oleh: Ciptanti Putri
Menurut Living Planet Report 2012, jejak ekologi manusia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kualitas bumi. Jika pada periode 1970-2010 bumi masih bisa memenuhi kebutuhan manusia, tiga tahun setelahnya fakta mengejutkan menyebutkan bahwa manusia memerlukan satu setengah bumi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pola konsumsi manusia meningkat secara signifikan, melesat meninggalkan pertumbuhan sumberdaya alam (SDA) yang tak seberapa. Bila dibiarkan, diprediksi pada periode 2013-2050 kita membutuhkan tiga bumi guna mendukung kehidupan manusia.
Atas dasar itulah WWF-Indonesia tidak pernah jemu untuk menyerukan dan mensosialisasikan penerapan gaya hidup hijau sebagai tindak nyata mengurangi penggunaan SDA yang berlebihan. Melalui kampanye Earth Hour, gerakan komunitas di kota-kota pendukung berkembang secara aktif, menciptakan aksi-aksi lokal sebagai solusi atas permasalahan di daerah mereka masing-masing. Tercatat 37 Kota di Indonesia berpartisipasi dalam kampanye Earth Hour Indonesia 2014 – yang berfokus pada penghematan dan bijak penggunaan energi, kertas dan plastik dalam kehidupan sehari-hari – menjadikan Indonesia sebagai negara pendukung Earth Hour berbasis komunitas terbesar di dunia.
Salah satu keberhasilan penyampaian pesan gaya hidup hijau yang menjadi target kampanye Earth Hour di Indonesia adalah dengan penggunaan media sosial secara optimal. Sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian kampanye Earth Hour Indonesia 2014, sekaligus perayaan Hari Bumi tanggal 22 April, WWF-Indonesia mengadakan diskusi bertajuk “Gara-gara Earth Hour” di @america, Jakarta. Diskusi yang menyoroti sudut pandang publik terhadap kampanye Earth Hour di Indonesia ini dihadiri oleh para penggiat media sosial, penggiat kampanye kreatif dan pemerhati lingkungan hidup, seperti Wahyu Aditya (HelloMotion, HelloFest, dan KDRI), Shafiq Pontoh (Indonesia Berkebun, Ayah ASI, dan Indonesia Berkibar), Dr. Efransjah (CEO WWF-Indonesia), Agus Sari (pemerhati advokasi lingkungan hidup), dan para Earth Hour Champions dari wilayah Jabodetabek.
Di awal diskusi, Wahyu Aditya mengungkapkan bahwa kondisi infrastruktur yang terbatas di Indonesia dapat menjadi pemicu bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk berinovasi. Hasil-hasil kreativitas tersebut perlu disebarluaskan ke khalayak luas. Salah satu cara yang mudah dan murah adalah dengan optimalisasi media sosial.
Berdasarkan data yang dilansir dari Global Web Index (2013), Indonesia adalah pengguna internet nomor tujuh terbesar di dunia (58 juta orang). Angka tersebut masih akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan internet di Indonesia yang mencapai 430%.
Merujuk hal tersebut, Shafiq Pontoh menekankan pentingnya aktivitas di media online. “Media ini dapat membantu kita ‘menemukan’ orang-orang dengan minat yang sama, yang potensial menjadi mitra dalam sebuah jaringan baru di dunia nyata,” kata Shafiq. Pendapat ini juga disepakati oleh oleh Agus Sari, yang berpendapat bahwa media sosial dapat meluaskan ruang lingkup kampanye Earth Hour di Indonesia.
Di kesempatan lain, Dr. Efransjah, mengungkapkan masih adanya fakta belum bijaknya manusia di kota-kota besar, seperti Jakarta, dalam menggunakan haknya sebagai konsumen yang bertanggung jawab. Meskipun berpenghasilan tinggi, sering kali masyarakat urban tidak peduli terhadap dampak dari gaya hidup mereka. “Pelembab bibir yang sering dipakai kaum perempuan mengandung minyak kelapa sawit yang membutuhkan lahan luas dalam pembudidayaannya. Jika kita tidak bijak dalam penggunaan pelembab bibir tersebut, maka akan terjadi penebangan pohon dan alih fungsi hutan guna perluasan lahan perkebunan sawit, tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan,” ujar Efransjah. “Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran manusia terhadap isu lingkungan lewat informasi yang edukatif. Kampanye kreatif menjadi salah satu cara yang efektif untuk mempengaruhi dan mendorong orang untuk bertindak nyata,” lanjutnya.
Kampanye Earth Hour Indonesia 2014 memanfaatkan penuh peran media sosial dalam penyebaran informasi ke beragam individu dan komunitas. Hal ini terbukti dengan ramainya media sosial Twitter (dengan tagar #Gara2EH) saat diskusi berlangsung, oleh masyarakat yang sudah menjalankan atau merasakan manfaat dari gaya hidup ramah lingkungan yang disuarakan sendiri oleh Earth Hour di Indonesia.