SUMPAH ADAT NEGERI KATALOKA UNTUK JAGA KEBERLANJUTAN KAWASAN PERAIRAN PULAU KOON
Oleh Hasrul Kokoh
“Kepada seluruh rakyat Kataloka, tempat-tempat seperti Pelabuhan Kataloka, Tanjung Kiter sampai ke Koon dan Grogos harus dijaga. Tidak diperkenankan memakai potas, bom, dan lain- lain yang merusak. Barang siapa melanggar akan binasa.”
Begitu seruan Raja Muda Petuanan Negeri Kataloka, Mohammad Anzar R. Wattimena, di hadapan sejumlah tetua adat dan rakyat negerinya, pada tanggal 11 Maret 2014, di Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur, Propinsi Maluku. WWF-Indonesia, Pemerintah Kecamatan Gorom, Kepolisian Resor Gorom, perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Seram Bagian Timur, serta sejumlah rekan media nasional dan internasional, turut hadir di acara prosesi adat tersebut.
Setelah bertitah, Raja Anzar bersama dengan para tetua secara bergantian mengambil sejumput pasir dari sebuah wadah lalu menaburkanya ke laut, sebagai simbol bahwa kawasan perairan sekitar Pulau Koon resmi ditutup untuk aktivitas perikanan hingga tahun 2015 mendatang.
Sumpah adat tersebut dimaknai sebagai ‘ngam’ atau titah raja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh rakyat Petuanan Negeri Kataloka termasuk oleh sang Raja sendiri. Titah dan sumpah ini diberlakukan untuk keberlanjutan sumberdaya laut dan pesisir di kawasan tersebut, termasuk perlindungan tempat memijah (kawinan) ikan.
Sejak tahun 2011, WWF-Indonesia bersama dengan Raja dan rakyat Petuanan Negeri Kataloka telah menyepakati inisiatif penutupan tersebut, melalui sebuah kerjasama wilayah konservasi yakni Marine Conservation Agreement (MCA), yang bertujuan untuk pemulihan ekosistem laut di perairan sekitar Pulau Koon. Keputusan untuk menutup kawasan perairan sekitar Pulau Koon dengan rentang waktu yang panjang ini dapat diibaratkan seperti menyediakan ‘bank’ dengan ikan sebagai ‘tabungan’ bagi para nelayan negeri ini. Bila sistem ekologisnya dapat berfungsi dengan baik, benih ikan akan menyebar, dan pasokan ikan akan melimpah ke wilayah-wilayah sekitar kawasan tersebut.
Perairan pulau Koon merupakan habitat penting bagi sumberdaya laut dan pesisir yang ada di wilayah ini. Nelayan Kataloka menyebut perairan Koon sebagai ‘pasar ikan’ – istilah lazim yang digunakan mereka sebagai tempat berkerumunnya berbagai jenis ikan demersal (ikan karang) dan pelagis (ikan laut dalam). Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Secara ilmiah, WWF-Indonesia telah mengkajinya melalui survey cepat di bulan Maret 2010. Hasil dari survey ini adalah ditemukannya sejumlah jenis ikan bernilai ekonomi tinggi melakukan agregasi di kawasan perairan ini.
“Perairan Pulau Koon diidentifikasi sebagai lokasi agregasi pemijahan ikan kerapu sunu, kakap merah, kerapu macan, dan bobara mata besar,” ungkap Abdullah Habibi, Capture Fisheries Coordinator, WWF-Indonesia. Selain itu, perairan Koon juga memiliki kepadatan biomasa (jumlah spesies) jenis ikan tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah pemijahan ikan lainnya di Indonesia bagian Timur.
Untuk memastikan kesepakatan konservasi ini berjalan dengan baik, Raja Kataloka memberi mandat kepada Kepala Dusun Pulau Grogos – yang wilayahnya sangat dekat dengan perairan pulau Koon – untuk melakukan pengawasan dan pengamanan rutin. Kepala Dusun Pulau Grogos lalu menugasi 4 orang warga untuk secara rutin mengawasi MCA-Koon. “Patroli kami lakukan 4 kali dalam seminggu. Pagi, siang, dan sore hari, kadang patroli juga kami lakukan di malam hari,” jelas Udin Ruakat, Kepala Dusun Grogos.
Jika terjadi pelanggaran oleh nelayan, tim patroli akan menghampiri dan menegur pelaku, mencatat pelanggara dan menggiring mereka keluar batas kawasan konservasi. Apabila pelanggar ditemukan menggunakan peralatan tangkap yang merusak, tim patroli akan melaporkan pelanggar kepada Kepala Dusun Grogos – yang akan memberikan penjelasan mengenai pentingnya MCA-Koon bagi keberlangsungan hidup seluruh nelayan di petuanan ini. Udin menambahkan, “Kalau masih melanggar, kami akan membawa pelaku kepada Raja untuk diberikan hukuman sesuai adat. Pelanggaran berat akan dikenakan denda sebesar 5 juta rupiah untuk nelayan Kalaloka, dan 15 juta rupiah untuk nelayan yang berasal dari luar Kataloka. Atau dapat diberikan hukuman yang sangat berat seperti diusir dari Negeri Kataloka.”
Namun demikian, peraturan yang berlaku tidak selalu dituruti. Pelanggaran masih kerap ditemukan, meski dengan intensitas yang jauh berkurang dibandingkan sebelum diresmikannya MCA-Koon. Sejak tahun 2011 hingga saat ini, tim patroli mencatat terjadi 5 kali pelanggaran. Banyak nelayan ditemukan oleh tim patroli sedang memancing dalam kawasan, dengan alasan tidak mengetahui atau melihat tanda batas kawasan (berupa tiang pancang dan bola pelampung). Salah satu anggota tim patroli yang juga seorang nelayan dari Grogos, Ibrahim Boinau, mengatakan, “Sudah 2 tahun ini tak ada lagi aktivitas pemboman di Koon.” Ibrahim pun tidak pungkiri bahwa nelayan pelaku bom ikan masih melakukan aksinya di luar kawasan perairan Koon. Penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun ikan (potasium sianida) masih dilakukan sejumlah nelayan di sekitar perairan Pulau Nukus dan Pulau Neiden.
Sejak ditutupnya kawasan perairan Koon pada tahun 2011, nelayan Grogos mulai merasakan manfaatnya, yaitu jumlah hasil tangkapan mereka mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Ibrahim dan nelayan Grogos lainnya dapat menangkap ikan kakap atau kerapu berukuran besar dengan jumlah lebih dari 10 ekor. Sebelumnya, jumlah tangkapan tidak pernah melebihi jumlah itu. “Beratnya bisa sampai 3 sampai 5 kiloan,” ujar Ibrahim.
Sayangnya, hasil tangkapan ikan yang makin banyak tersebut belum dilengkapi dengan fasilitas penunjang untuk penanganan pasca-tangkap, seperti gudang pendingin (cool storage) sebagai tempat menyimpan hasil tangkapan. Jarak yang jauh tidak memungkinkan mereka untuk menyimpan dan menjual hasil tangkapan ke penampung ikan di Gorom. Seringkali kelebihan tangkapan terbuang percuma, terlebih saat puncak musim tangkap tiba. Namun para nelayan tersebut tidak putus asa. Mereka lalu lebih memilih untuk mengeringkan hasil tangkapan mereka sebelum menjualnya ke Gorom. Hasil tangkapan yang dikeringkan akan memberikan mereka harga yang jauh lebih baik daripada tangkapan segar.
Hasil penjualan tangkapan ini dapat digunakan oleh para nelayan untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga tingkat SMP di Gorom, SMA di Bula, bahkan universitas di Sorong, Papua. Para tim patroli dan nelayan yang sudah merasakan manfaat dari MCA-Koon ini sependapat bahwa mereka selalu semangat mengamankan perairan ini demi keberlanjutan hidup mereka dan masa depan anak-anak Negeri Kataloka.