RESTORASI KORIDOR ORANGUTAN BERBASIS "AGROFORESTRY" DI KAPUAS HULU KIAN BERKEMBANG
Oleh: Masayu Yulien Vinanda (disadur dari laporan Forest Officer WWF Kalbar Markus Lasah)
Kapuas Hulu (14/04)-Sebagai upaya restorasi koridor orangutan yang menghubungkan dua kawasan konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu -Kalimantan Barat, yaitu Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum, WWF-Indonesia mengembangkan sistem agroforestry. Lima belas kelompok masyarakat di koridor tersebut mendapat pendampingan dari WWF-Indonesia, mulai dari tahap persiapan diantaranya pembuatan lokasi persemaian dan pemetaan lokasi tanam, tahap penanaman, hingga pasca penanaman.
Pemetaan lokasi penanaman karet telah dilakukan di lima kelompok dengan total luasan yang diukur mencapai 356, 347 Ha. Sementara jumlah bibit karet unggul yang telah ditanam oleh kelompok masyarakat binaan WWF di koridor hingga bulan Februari 2011 mencakup 68.109 batang, yang ditanam di lahan seluas 136 ha.
Menurut Forest Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, Markus Lasah, sistem agroforest ini berupaya untuk menerapkan model penanaman jenis pohon budidaya dengan jenis tanaman lokal. Jenis tanaman budidaya yang sangat diminati adalah pohon karet, sedangkan pohon lokal yang dipadukan adalah jenis pohon penghasil buah seperti pohon tengkawang, durian, rambutan, dan langsat.
“Karet menjadi pilihan karena masyarakat setempat sudah cukup familiar dengan karet, selain itu perkebunan karet rakyat juga dinilai mampu menyediakan cukup banyak lapangan kerja, serta berperan penting dalam pemerataan pendapatan masyarakat,” jelasnya.
Namun, kenyataannya potensi karet masih belum sepenuhnya dikelola secara optimal. Produktivitas karet masih rendah. Menurut Markus, hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang budidaya karet.
“Selama ini yang diketahui oleh masyarakat hanyalah karet lokal. Padahal ada jenis karet lainnya yang banyak menghasilkan latex. Penerapan teknologi budidaya karet yang tepat untuk masyarakat dapat meningkatkan produktivitas hasil karet rakyat. Seiring dengan meningkatnya produktivitas, maka pendapatan dan kesejahteraan petani juga dapat ditingkatkan secara nyata,” imbuhnya.
Upaya restorasi koridor berbasis karet yang melibatkan masyarakat lokal kian berkembang. Hal ini ditandai dengan terbentuknya dua kelompok baru yakni “Nuju Pa Mansang” di dusun Engkadan, Desa Mensiau dan kelompok “Bukit Tucung Mandiri” di dusun Sungai Long, Desa Sungai Abau. Pembuatan lokasi persemaian di dua kelompok pun telah dilakukan.
“Awalnya masyarakat Engkadan memberikan reaksi keras terhadap kegiatan pembentukan kelompok dan pembuatan lokasi persemaian. Namun, kami terus melakukan pendekatan beberapa kali dengan pemberian penjelasan kepada masyarakat di Engkadan terutama kepada tetua dan ketua RT Engkadan hingga akhirnya mereka mulai terbuka. Ketertarikan mereka perlahan juga mulai tumbuh dengan adanya contoh nyata hasil kerja WWF di desa lainnya,” tegas Markus.
Dari hasil diskusi dengan masyarakat Dusun Engkadan, masyarakat ini meminta kepada WWF supaya mereka bisa menanam pohon tanaman keras, selain karet seperti gaharu, belian, dan kopi.