PERUBAHAN IKLIM "IKU OPO"...?
Sukirman (52), petani bawang merah di Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tak habis mengerti. Saat ini sudah bulan Juli, tetapi hujan masih saja turun. Padahal, bulan Juli biasanya musim kemarau dan sangat jarang turun hujan.
Saat kemarau itulah, petani bawang merah biasanya menikmati masa menggembirakan karena produktivitas mencapai titik tertinggi, 12-14 ton per hektar. Menjemur bawang merah juga cukup lima hari karena ba-wang sudah kering dan bisa disimpan untuk waktu lama
""Namun, sekarang ini tidak terjadi,"" kata Sukirman.
Bulan Juli masih turun hujan sehingga produktivitas tanaman bawang merah anjlok menjadi hanya 6-7 ton per hektar. Berbagai hama dan penyakit tanaman juga banyak menyerang. Selain itu, juga karena hujan sering turun, waktu menjemur bawang merah molor menjadi 10-14 hari. Otomatis upah untuk menjemur juga membengkak. ""Tidak tahu kenapa, cuaca jadi.sulit ditebak,"" kata Sukirman kebingungan.
Bukan cuma Sukirman yang kebingungan. Karna {45), petani di Kecamatan Pegaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat, juga tak habis mengerti. Juli ini yang mestinya musim gadu (kemarau) kenyataannya masih sering turun hujan. Sesekali matahari bersinar terik, lalu hujan turun dengan lebat.
""Kalau panas-hujan... panas hujan lagi..., biasanya wereng banyak menyerang,"" kata Karna.
Ia pun kini harus mengalami,hama wereng mulai menyerang tanaman padi miliknya. ""Biasanya, ber-beran seperti September, Oktober, November, dan Desember baru musim hujan. Tetapi sekarang, Juli sudah hujan,"" katanya.
Ketika seorang mahasiswa yang sedang berpraktik lapangan di Kabupaten Brebes memberi tahu kepada Sukirman bahwa sekarang terjadi perubahan iklim akibat pemanasan global, Sukirman malah celingukan. Ia kebingungan. ""Perubahan iklim iku opo...? ujarnya polos.
Penyuluh lapangan
Saat Orde Baru berkuasa, perhatian pemerintah pada petani cukup tinggi Petugas penyuluh lapangan sering memberikan informasi kepada petani mulai dari saat tanaman, giliran air, cara pemberantasan hama, membentuk kelompok tani, hingga mengenalkan varietas baru tanaman padi. Sekarang hal ini tidak terjadi lagi
Praktis kini tak ada lagi petugas penyuluh lapangan yangturun ke desa-desa. Petani juga dibiarkan mencari informasi sendiri, mulai dari harga pupuk, hama yang menyerang tanaman padi, hingga prakiraan cuaca Karena jalur informasi terputus, fenomena global soal perubahan iklim juga tak sampai kepada petani.
Tak aneh jika, misalnya, saat musim kemarau basah seperti sekarang, petani masih menanam palawija-seperti bawang dan cabai merah-yang rentan cuaca Petani memaksa menanam palawija karena sebagian besar lahan inereka berupa lahan sewa Petani merasa rugi jika lahan yang mereka sewa hanya digunakan dua kali tanam setahun. Ketika mengetahui hujan masih turun dengan intensitas tinggi, mereka memaksa menanam palawija Hasilnya bisa ditebak; produktivitas rendah serta ancaman hama dan risiko kegagalan tinggi.
""Satu buah kubis, yang biasanya memiliki berat 3 kilogram, sekarang hanya 0,5-0,8 kilogram,"" kata Surame Hadisutik-no, pengawas Paguyuban Petani Merbabu di Kabupaten Magelang.
Produksi cabai keriting yang biasanya 12-15 ton per hektarkini hanya 7-9 ton per hektar.
Labu siam seluas 2.000 meter persegi, yang biasanya menghasilkan sekitar 9 kuintal, di Magelang kini hanya menghasilkan sekitar 1,2 kuintal. ""Pengaruh cuaca sangat besar pada pertanian,"" kata Suhartono, Kepala Desa Ngablak di Kecamatan Ngablak, Magelang.
Lari ke kota
Kegagalan demi kegagalan yang menimpa petani memaksa sejumlah petani meninggalkan lahan garapannya. Mereka nekat pergi ke kota, mencari penghasilan dengan bekerja serabutan.
""Sekitar 60 persen petani di sini pergi ke kota setelah hama wereng merajalela dan sulit dikendalikan,"" kata Didit Ariyanto, pengurus Kelompok Tani Lestari, Kecamatan Kebon Agung, Kabupaten Demak.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah Aris Budiono mengatakan, pemberantasan hama wereng memang sulit dikendalikan dalam anomali cuaca seperti sekarang ini.
Sebagian petani ada pula yang mencoba-coba menanam tanaman lain setelah sawahnya terserang hama wereng. Namun, tetap saja upaya mereka gagal.
""Lahan terlalu basah karena curah hujan sangat tinggi,"" kata Kardiono, Pelaksana Harian Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Tengah, memberikan alasan.
Tingginya curah hujan juga menyebabkan petani di Kalimantan Selatan yang biasa menanam padi di area rawa lebak terlambat menanam padi.
""Baru sekarang ini, ketika hujan mulai jarang dan air rawa lebak menyurut, kami bisa menanam padi,"" kata Udin (42), petani dari Maharuangan, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan Sriyono mengatakan, tingginya curah hujan juga menyebabkan luas area tanaman padi tidak optimal. Kalimantan Selatan memiliki sekitar 500.000 hektar sawah, dengan 100.000 hektar di antaranya berupa lahan rawa lebak. Namun, karena hujan tinggi, untuk musim sekarang hanya sekitar 80.000 hektar yang bisa ditanami.
Perubahan iklim telah mengubah segalanya. Hanya sikap birokrasi dan masyarakat yang belum berubah....
(WHO/MKN/WER/HAN/ EGI/THY)