PELATIHAN "ON-BOARD OBSERVER" DIGELAR UNTUK KURANGI TANGKAPAN SAMPINGAN
Oleh: Nina Samidi
Jakarta (09/05)-Dalam kegiatan penangkapan maupun pemancingan di laut, tidak jarang terdapat bycatch atau tangkapan sampingan biota laut yang dilindungi dan terancam punah, seperti penyu, hiu, burung laut dan mamalia laut (paus, lumba-lumba). Jika penanganannya salah, hewan-hewan tangkapan sampingan ini akan mati dan dibuang begitu saja. Artinya, kita akan kembali kehilangan semakin banyak biota laut yang dapat mengganggu keseimbangan alam.
Karena itulah, WWF-Indonesia secara rutin menggelar pelatihan ""On-Board Observer"" serta Pencegahan dan Penanganan Tangkapan Sampingan yang ditujukan bagi para anak buah kapal, nelayan, dan kapten kapal. On-board observer atau peneliti di atas kapal adalah orang-orang, biasanya adalah anak buah kapal atau nelayan yang sedang tidak melaut, yang dikoordinir oleh WWF Indonesia untuk melakukan penelitian di atas kapal yang sedang melakukan pemancingan atau penangkapan hasil laut. Fokusnya saat ini adalah pada armada tuna longline dan armada pukat udang (trawl udang).
Para peneliti ini nantinya akan mendapat pembekalan tentang bagaimana melakukan pencegahan tangkapan sampingan serta penanganan yang tepat jika terdapat tangkapan sampingan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan metode ataupun alat yang ramah lingkungan yang mampu meminimalisir adanya tangkapan sampingan. Pada armada tuna longline misalnya, nelayan dianjurkan untuk menggunakan circle hook. Alat ini sama efektifnya dengan mata pancing longline yang saat ini digunakan untuk menangkap tuna, namun ramah penyu dan tetap efektif untuk menangkap tuna. Circle hook dirancang agar mata pancing tersebut tidak bisa tertelan oleh penyu.
Sementara itu, pada armada pukat udang, diperkenalkan alat BRD (Bycatch Reduction Device) dan TED (Turtle Exclude Device), yaitu alat yang dipasang pada pukat udang untuk menyaring dan meminimalkan tangkapan sampingan.
Para on-board observer yang sudah dikoordinir sejak tahun 2006 oleh WWF Indonesia ini juga bertugas melakukan pencatatan data interaksi perikanan dan hewan-hewan yang dilindungi saat kapal melaut. Dari data-data tersebut, kita dapat melihat berapa banyak armada yang telah menjalankan pemancingan/penangkapan ramah lingkungan dan berapa yang belum tersentuh pelatihan ini.
Di atas kapal, para observer atau peneliti ini selanjutnya juga melakukan pelatihan dan menyampaikan pengetahuan seputar pencegahan dan penanganan tangkapan sampingan ke nelayan atau ABK lain. Hal ini bertujuan agar kapasitas dan pengetahuan mereka seputar isu bycatch meningkat. Dari sinilah, mereka juga memperkenalkan alat-alat yang ramah lingkungan, seperti yang saat ini menjadi fokus WWF Indonesia untuk memperkenalkan circle hook.
Selain capacity building, dokumen yang berisi panduan praktek pengelolaan terbaik untuk melindungi tangkapan sampingan juga telah disusun. Pada 11 Januari 2011 di Jakarta, WWF Indonesia mengundang perwakilan dari beberapa pihak, yaitu pemerintah, peneliti, dan kelompok-kelompok perikanan untuk berkumpul dalam Grup Diskusi Ahli. Agenda utama dalam grup diskusi ini adalah mengembangkan dua tipe BMP (Better Management Practice atau Panduan Praktik Pengelolaan Terbaik), yakni ""Panduan Pencegahan Tangkapan Sampingan pada Pemancingan Tuna dengan Longline"" serta ""Panduan Penanganan Tangkapan Sampingan Penyu pada Armada Tuna Longline dan Armada Pukat Udang.""
Dari pengembangan kedua panduan ini diharapkan setiap orang dapat dengan mudah mengaplikasikannya, terutama para nelayan, sehingga mereka tahu cara mencegah adanya tangkapan sampingan dan bagaimana cara menanganinya jika mereka mendapatkan tangkapan sampingan. BMP yang telah mengalami pengembangan ini kini mulai diproduksi dan diedarkan untuk dapat segera dijadikan panduan dalam kegiatan perikanan. BMP ini juga yang nantinya akan digunakan oleh para on-board observer dalam melakukan penelitian.