MENUJU BAHAN BAKAR YANG LEBIH HIJAU
Jelliarko Palgunandi
DEPARTEMEN KIMIA UNIVERSITAS KYUNG HEE, KOREA SELATAN
Tak dimungkiri kita harus mulai memikirkan lebih serius masalah ketersediaan terbatas melawan kebutuhan bahan bakar yang kian membengkak. Biodiesel sebagai salah satu bahan bakar terbarukan yang bersumber dari bahan nabati kini mendapat perhatian istimewa dari khalayak ilmuwan dan industriwan Indonesia serta dunia.
Pemerintah Indonesia meramalkan, pada 2025 konsumsi energi terbarukan mencapai 17 persen dari total konsumsi dengan persentase mencapai 5 persen untuk pemakaian bahan bakar bio (baik biodiesel maupun bioethanot). Roadmap pengembangan biodiesel Indonesia menyebutkan pada 2011-2015 pemakaian biodiesel mencapai 15 persen dari total konsumsi bahan bakar mesin diesel dan selanjutnya 20 persen pada periode 2016-2025.
Perkembangan biodiesel Gl dan G2
Selama ini biodiesel generasi pertama (Gl) telah diproduksi dan digunakan secara luas, baik dalam bentuk muminya maupun sebagai campuran dengan bahan bakar diesel turunan minyak bumi. Apa itu biodiesel Gl? Biodiesel ini dikenal sebagai metil ester asam lemak [fatty acid methyl esfer/FAME), yang diperoleh dari proses transesterifikasi minyak nabati (trigliserida) dengan metanol menggunakan katalis. Setiap konversi satu molekul trigliserida, bakal menghasilkan tiga molekul FAME dan satu molekul produk samping, yaitu gliserol.
Biodiesel Gl, walaupun dinyatakan slap diaplikasikan, masih memiliki beberapa masalah kompatibilitas terhadap mesin diesel saat ini. Di antaranya adalah korosi akibat kandungan atom oksigen yang tinggi dari FAME dan maksimum konsentrasi yang diizinkan sebagai campuran dengan minyak diesel turunan minyak bumi (petrodiesel).
Dalam kaitannya dengan emisi karbon dioksida (CO2), kontribusi emisi CO2 dari pembakaran FAME juga dikhawatirkan masih relatif tinggi (akibat kandungan oksigen yang tinggi pada FAME). Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dikembangkan biodiesel generasi kedua (G2) dengan spesifikasi mendekati petrodiesel.
Prinsipnya, biodiesel G2 merupakan hidrokarbon turunan dari minyak nabati yang mengalami proses hldrogenasl (hidropro-ses). Melalui jalur Ini, aneka minyak nabati, lemak binatang, atau campuran biomlnyak dan minyak bumi, bahkan minyak nabati bekas pakai (misalnya, waste cooking oil) bisa diproses sekaligus menghasilkan aneka fraksi hidrokarbon yang siap di-pisahmurnikan.
Jadi, berbeda dengan hidrogenasi minyak nabati dalam industri makanan yang bukan ditujukan untuk menghasilkan bahan bakar. Pada hidroproses minyak nabati, terjadi rangkaian reaksi berupa hidrogenasi pada ikatan rangkap karborvkarbon, dekar-boksilasi (menyingkirkan gugus karboksilat), dekarbonilasi (menyingkirkan gugus karbonil), isomerisasi, dan perengkahan.
Hidroproses minyak nabati mentah menawarkan proses yang lebih efisien tanpa menghasilkan hasil sampingan, kecuali air dan CO2. Terlebih, hidroproses untuk menghasilkan biodiesel langsung dapat memanfaatkan teknologi pemurnian petroleum yang sudah mapan.
Mengapa biodiesel G2?
Hidroproses bisa menghasilkan biodiesel G2 dengan kadar oksigen lebih rendah, bahkan mendekati nol. sehingga masalah korosi mesin dapat dihindari. Demikian juga emisi dari pembakaran biodiesel G2 lebih sedikit mengandung karbon.
Biodiesel dari hidroproses juga sangat sesuai dengan kondisi mesin diesel yang digunakan saat ini karena mampu mencapai bilangan cetane 55-90 (bandingkan dengan bilangan cetane minyak diesel yang beredar saat ini sebesar 4045). Dengan kondisi demikian, konsentrasi biodiesel yang diizinkan dalam campuran biodiesel petrodiesel bakal semakin tinggi tanpa per lu memodifikasi perangkat mesin.
Salah satu kekurangan dan biodiesel G2 barangkali adalah sifatnya yang mudah membeku pada suhu di bawah 20 derajat Celsius. Tentu saja masalah tersebut hanya relevan di wilayah empat musim, sedangkan di Indonesia hal itu bukan persoalan sama sekali. Hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan katalis atau melakukan percampuran.
Hingga saat ini biodiesel G2 belum digunakan secara komer sial, namun beberapa industri besar telah siap memproduksinya dalam ukuran massal. UOP (A Honeywell Company), sebuah perusahaan Amenka Serikat, demikian juga Petrobas, Brasil, pemegang hak cipta hidroproses minyak nabati, merintis produksi biodiesel G2 dengan kapasitas mencapai 400 kiloton per tahun. Bisakah Indonesia memulainya?