MENOPANG TULANG PUNGGUNG YANG RAPUH
Oleh Afiff Maulana D.
Krisis pasokan listrik merupakan faktor utama yang mesti dibenahi untuk mencapai ketahanan industri energi nasional.
Sepanjang 2009, krisis energi nasional kembali menghangat. Pemicunya adalah pemadaman bergilir di Jabotabek selama dua bulan (Oktober-Desember), menyusul kebakaran gardu induk PLN di Cawang pada pertengahan Oktober lalu. Ini membuat sebagian Jakarta lumpuh, dan kerugian bagi industri ditaksir mencapai Rp30 miliar per hari. Mata dan telunjuk publik kembali diarahkan kepada PT PLN. Pasalnya cerita pemadaman tidak hanya di Jakarta, dan bukan sejak sebulan lalu, tapi sudah berlangsung sejak 10 atau 20 tahun lalu.
Tidak mengherankan karena, menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, rasio elektrifikasi nasional baru mencapai 65,1%- Bahkan, di sejumlah provinsi, rasionya lebih parah. Misalnya Nusa Tenggara Timur (24,55%), Papua, dan Papua Barat (32,35%). Sebanyak 14 wilayah mengalami defisit daya, antara lain di Sumatra bagian utara, Sumatra bagian selatan, Jawa, Madura, dan Bali serta Sulawesi Selatan. Krisis ini berawal dari pertumbuhan beban yang jauh melampaui perkiraan. Pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7% per tahun, sedangkan peningkatan pasokan listrik kurang dari 4%.
Kondisi ini diperparah dengan ketidakmampuan PLN melakukan investasi. Dari kebutuhan investasi rata-rata per tahun Rp73,297 triliun, PLN hanya mampu memenuhi Rp l2,272 triliun. Ini menyebabkan tarif yang tidak mencerminkan biaya, kebutuhan ekspansi yang tidak terpenuhi, dan tak adanya economic return yang memadai.
Karena itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan pada sektor industri batu bara dan migas. Ini guna menopang ketahanan energi listrik nasional. Berdasarkan data PLN, dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik, sekitar 30% di antaranya pembangkit listrik dengan BBM dan 23% adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Selama ini, PLN masih mengeluhkan pasokan batu bara karena 75% produsen batu bara lebih memilih menjual produk ke luar negeri karena harganya lebih mahal. Menurut Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Refor Miner Institute, situasi ini menjadi pelik. Pemicunya adalah tidak ada ketetapan eksplisit dalam kontrak produksi batu bara untuk Iebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri termasuk PLN ketimbang dijual keluar negeri. Bahkan, produsen yang terikat kontrak lebih rela membayar penalti karena masih lebih murah. Namun begitu, kondisi industri batu bara boleh dibilang berjalan stabil sepanjang 2009 dengan produksi mencapai 230 juta ton.
Harga batu bara pun diprediksi menguat tahun ini seiring dengan ekonomi global yang mulai pulih. Nada berbeda terjadi di sektor minyak bumi nasional. Target lifting nasional sebesar 960.000 barel per hari sampai akhir tahun tidak dapat terpenuhi. Bukannya mengevaluasi, justru tahun ini pemerintah malah menaikkan target lifting menjadi 965.000 barel per hari. Ini jelas tidak masuk akal. ""Kegiatan migas terlalu bertumpu pada eksploitasi, sementara dari sisi eksplorasi kurang. Sepanjang 2009, dari 28 blok migas yang ditawarkan, hanya laku dua blok,"" paparnya.
Bukan rahasia umum jika minyak bumi masih menjadi andalan. Kontribusinya mencapai 90% terhadap industri energi. Saat ini, Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun plus potensi cadangan sebesar 4,41 miliar barel. Di sisi lain, ada indikasi penggunaan sumber energi alternatif baru seperti batu bara, gas bumi, uap panas, biofael, dan mineral makin meningkat.
Hal ini didukung oleh cadangan energi alternatif nonminyak yang cukup menjanjikan. Stok gas bumi Indonesia mencapai 187 triliun kaki kubik. Jumlah ini akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Jika tingkat produksinya 170 juta ton per tahun, berarti kebutuhan selama 110 tahun bisa terpenuhi.
Untuk bahan bakar nabati, dari total produksi 2,7 kiloliter per tahun, pasar dalam negeri hanya menyerap 700.000 kiloliter. Sangat kecil dibanding konsumsi BBM sebesar 60 juta liter per tahun. Penyerapan energi panas bumi juga lambat. Dari potensi yang terdeteksi sebesar 27.000 megawatt, yang dimanfaatkan baru 1100 megawatt.
Melihat kondisi tersebut, menurut Pri Agung, tantangan ketahanan industri energi paling krusial tahun ini dipicu salah satunya oleh proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt I dan II yang tepat jadwal. Jika itu terjadi, daya tegangan di Pulau Jawa dan Bali akan bertambah menjadi 23-000 dari 20.000 kapasitas terpasang. Tentu saja ini akan sangat membantu kepercayaan pasar, investor, dan ketenangan masyarakat.