MENGEMBANGKAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN BENTANG LAUT SUNDA BANDA
Kawasan Bentang Laut Sunda Banda memiliki luas sekitar 39% dari luas perairan Indonesia. Terletak di pusat Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) yang memiliki keanekaragaman ekosistem laut tertinggi di dunia dan merupakan habitat bagi 76% spesies terumbu karang, lebih dari 3,000 spesies ikan, serta spesies terancam punah seperti Penyu, Setasean, Hiu, dan Napoleon Wrasse. Hal ini membuatnya sangat penting sebagai mata pencaharian dan ketahanan pangan bagi lebih dari 120 juta masyarakat pesisir. Aktivitas utama masyarakat setempat juga sangat bergantung pada kawasan ini, seperti perikanan tangkap laut lepas, budidaya pesisir, juga pariwisata alam.
WWF-Indonesia menginisiasi perancangan kawasan konservasi dan perikanan berkelanjutan dengan pendekatan bentang laut di Bentang Laut Sunda Banda dalam lokakaryadua hari tentang pengelolaan kolaboratif Sunda Banda yang berlangsung di Bali tahun 2012 kemarin.Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas perlindungan sumberdaya pesisir dan laut dalam Bentang Laut Sunda Banda dengan mempertimbangkan pula peningkatan mata pencarian bagi masyarakat lokal.Tentunya kebutuhan pemanfaatan wilayah perairan untuk sektor-sektor lain seperti perhubungan, pertambangan, serta pertahanan keamanan perlu diperhatikan pula dalam perancangan ini.
Selain perancangan Kawasan Konservasi Perairan yang umum berlaku, WWF-Indonesia juga mencoba merancang pendekatan baru dengan mengintegrasikan pengelolaan perikanan dalam pengelolaan jejaring Kawasan Konservasi Perairan, dengan mempromosikan hak eksklusif pemanfaatan sumber daya bagi nelayan lokal. Upaya ini dapat mendukung diadopsinya teknik perikanan berkelanjutan oleh nelayan lokal yang akan diperkuat dengan pengembangan teknis, pemantauan dan penegakan hokum dengan pelibatan pihak swasta dan nelayan. Pembelajaran ini kemudian akan dipromosikan ke tingkat nasional sehingga Rancangan Konservasi Berbasis Bentang Alam dan Rancangan Jejaring Kawasan Konservasi dapat sejalan dan terintegrasi dengan rencana tata ruang nasional.
Pada tanggal 8 – 9 Oktober 2013 kemarin, WWF kembali menginisiasi pertemuan antara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan Bentang Laut Sunda Banda di Hotel Atlet Century Park. Pertemuan dua hari tersebut secara umum bertujuan untuk mendukung jejaring Kawasan Konservasi Perairan dan kemitraan dalam pengelolaan Bentang Laut Sunda Banda. Dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan dan mitra yang terkait, seperti Kementerian Kelautandan Perikanan (KKP), Kementerian Kehutanan, Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Denpasar dan Makassar, Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan BAPPEDA Provinsi Maluku, DKP Provinsi Sulawesi Tenggara, DKP dan BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan, serta beberapa instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah lainnya seperti Sustainable Fisheries Partnership (SFP), Conservation International Indonesia, Coral Triangle Center, The Nature Conservancy—Indonesia Marine Program (TNC-IMP), Coral Reef Alliance, Wildlife Conservation Society (WCS), International Society of Sustainability Professionals (ISSP).
Di hari pertama, presentasi meliputi pola pemanfaatan dan kebijakan tata ruang kelautan dan pesisir Bentang Laut Sunda Banda serta perkembangan jejaring Kawasan Konservasi Perairan dan kebijakan jejaring tersebut di BentangLaut Sunda Banda. Sore harinya dilanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai berbagai isu sehubungan dengan tata ruang perairan dan implementasi Kawasan Konservasi Perairan yang efektif dan jejaring Kawasan Konservasi Perairan untuk pemanfaatan sumber daya laut terutama perikanan secara berkelanjutan.
Kemudian pada hari kedua dimulai dengan presentasi mengenai Ecosystem Approach Fisheries Management (EAFM) termasuk Fisheries Improvement Program (FIP) dan Aquaculture Improvement Program (AIP) di Bentang Laut Sunda Banda.Kemudian disambung dengan brainstormingbagaimana cara yang tepat untuk mengkomunikasikan Bentang Laut Sunda Banda kepada masyarakatdan langkah-langkah berikutnya yang perlu diambil untuk Bentang Laut Sunda Banda.
Dari hasil diskusi dalam dua hari pertemuan ini diperoleh pemahaman bahwa Kawasan Konservasi Perairan baik Nasional maupun Daerah yang saat ini ditetapkan di Bentang Laut Sunda Banda, belum didesain untuk mendukung keberlanjutan stok spesies-spesies ikan yang penting bagi penghidupan masyarakat pesisir. Oleh karenaitu, untuk meningkatkan keefektifan manajemen Kawasan Konservasi Perairan itu dibutuhkan beberapa hal, di antaranya yaitu beberapa pendekatan seperti Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) dan Rights-Based Management (RBM) untuk memastikan relevansinya terhadap perikanan yang berkelanjutan dalam cara yang lebih luas. Selain itu, penting pula upaya sinergi sektor perikanan dan kelautan dengan sektor lain melalui Kawasan Konservasi Perairan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Lebih dari itu, ternyata ada banyak tantangan yang harus dihadapi dalam usaha untuk mengintegrasikan area konservasi dengan manajemen perikanan, seperti masih adanya dua peraturan berbeda yang digunakan sebagai referensi (UU No. 27/2007dan UU No. 31/2004), kebutuhan akan advokasi pada level nasional untuk memastikan bahwa KKP, sebagai institusi yang mengelola Kawasan Konservasi Perairan dan Perikanan dapat bekerja dan berkoordinasi secara efektif dengan direktorat-direktoratnya. Kemudian dibutuhkan juga intervensi dari otoritas yang lebih tinggi, seperti presiden, untuk menyelesaikan ketidak harmonisan antarbidang agar kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan usaha-usaha perikanan dapat terpenuhi.
Sebagai penutup pertemuan dua hari tersebut dirumuskan beberapa hal yang perlu segera dimulai setahun mendatang untuk menindaklanjuti pertemuan ini, antara lain mendokumentasikan dan mempromosikan praktik-praktik perikanan yang baik, dalam skala kecil maupun besar, dan menemukan champion-champion perikanan tersebut sebagai pembelajaran untuk perikanan yang berkelanjutan, mendorongkan kerja sama antara Badan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, serta akademisi untuk melakukan assesment secara bioekologi, sosio-ekonomi , sosial budaya , dan spesies ikan untuk melengkapi dua belas data set sebagai bahan regional spatial planning (RZWP3K). Dan terakhir, mendorong peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk mendukung upaya manajemen, termasuk mata pencaharian alternatif dan penyediaan alat tangkap.(Novita Eka Syaputri)